Mohon tunggu...
Didit Atittude
Didit Atittude Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sendu

24 September 2018   17:00 Diperbarui: 24 September 2018   17:02 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada sore itu ada sesosok wanita yang sedang menangis di tepi pantai, dengan tangan menggenggam pasir, lalu ia mengirim air matanya mengalir menuju muara, berharap akan datang hujan yang akan membuatnya pulang kerumah, tapi langit tak mendengar rintih suaranya yang tersenduh -- senduh.

Lalu ia berjalan menyusuri bibir pantai dengan air mata yang menghapus setiap jejaknya yang tak kalah derasnya dengan deru ombak, disela -- sela raut wajahnya cahaya menyelinap tanpa permisi dan enggan berpaling, yang mengeringkan tetes air matanya, tak ada yang mampu menepis bayang -- bayang walau semu.

Dan sorepun semakin pekat, matanyapun kembali terpikat oleh senja yang kian dekat, di iringi naungan Adzan maghrib yang berkumandang sangat merdu, melewati sela bebatuan dan gemercik ombak yang menghantam. Dengan tenangnya, ia meninggalkan senja yang fana dan bergegas untuk menyiapkan diri untuk menyambut dinginnya malam, sudah saatnya pulang dan hatimu layak untuk kumiliki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun