Mohon tunggu...
Didin Abramovich Alfaizin
Didin Abramovich Alfaizin Mohon Tunggu... Pengamat layar laptop

Bukan tukang kritik, hanya penyampai ide. Penyuka anime. Punya impian menganggrekkan lorong depan rumah. Salam literasi dari langit suram Makassar

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Di Balik Pal-Pal yang membisu: Menyusuri Batas KHDTK Tabo-Tabo

20 Juni 2025   09:09 Diperbarui: 16 Juli 2025   12:07 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebelum pal berikutnya mendua (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Ada pal yang hilang, ada yang tersembunyi. Ada pula yang berdiri sendiri, menua tanpa pelindung. Dan di tengah semuanya, hutan tetap bicara—dengan cara yang tak bisa didengar oleh mereka yang hanya lewat.

Pukul sebelas siang, 18 Juni 2025. Matahari di langit Tabo-Tabo belum sepenuhnya garang, tapi waktu terasa mulai melelahkan. Tim patroli dibagi dua, dan Tim kami—tujuh orang dari BP2SDM VI dan dua masyarakat lokal—diberikan amanat: menyusuri batas kawasan KHDTK Tabo-Tabo, dari pal 135 di Batu Putih, hingga kembali ke titik pal 1 yang berdiri tenang di depan gerbang masuk KHDTK. Kami tidak sedang menjelajah belantara, bukan pula mendaki gunung. Tapi siapa bilang menelusuri pal batas tidak bisa membuat napas megap-megap dan pikiran melompat-lompat?

Sunyi suasana mobil mengantar kami ke titik awal patroli. Semua sudah siap dengan Smart Patrol, aplikasi yang akan membantu merekam semua perjumpaan yang akan ditemui selama patroli. Pal 135 adalah awal dimana semua dimulai. Dia berdiri di perempatan jalan yang masih baru diperbaiki sejak Indonesia mengenal kemerdekaannya. ia seperti pelupa yang menunggu dikenang. Di sekitarnya sunyi, hanya semak dan dengung serangga yang sesekali mengingatkan bahwa kami memang berada di pinggiran batas—batas legal, batas ekologis, dan mungkin juga batas kesadaran kita sebagai penjaga.

Menginput data di Aplikasi Smart Patrol (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Menginput data di Aplikasi Smart Patrol (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Belum jauh melangkah, pal 136 hampir membuat kami frustrasi. Terlupa sehingga tim kembali mencarinya. Tersembunyi seperti anak kecil yang main petak umpet kelewatan waktu, ia nyaris tidak terlihat. Tapi ia ada, di belakang bebatuan, masih tertanam, masih bisa disapa. Ada semacam rasa lega ... seolah menemukan teman lama yang sempat hilang kontak.

Kami terus berjalan. Pal 137, 138, 139, hingga 140 menyambut kami dalam ritme yang mulai menanjak. Tidak tajam, tapi cukup untuk membuat langkah melambat. Di tengah jalanan yang rapuh oleh dirinya sendiri, kami mendengar gonggongan anjing dari kejauhan. Suaranya berasal dari sekitar pal 144, dekat pemukiman. Mungkin ia menggonggong karena curiga, mungkin karena ingin memberi tahu: “Di sini batasnya, jangan kelewat.”

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Di sekitar pal 138, kami menemukan penanda jalan menuju Goa Pising-Pising. Kami tak mengejar goa itu, hanya lewat seperti pengelana yang cukup tahu arah, tapi memilih diam. Papan itu berdiri tak jauh dari kawasan pekuburan tua, kampung setempat. Tidak kami datangi, tidak pula kami abaikan. Keberadaannya terasa. Mistis, tapi tidak menakutkan. Seperti sejarah: mengintip dari balik semak, tak ingin dilupakan.

Kondisi kuburan kampung (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Kondisi kuburan kampung (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Ada yang menarik di pal 143. Bukan hanya karena posisinya yang teduh, tapi karena di sanalah kami menjumpai Pericopsis mooniana, tumbuhan yang jarang dijumpai dan dikategorikan rentan (vulnerable) oleh IUCN, namun hari itu ia hadir dengan regenerasi alami yang mencengangkan. Tumbuh tanpa undangan, subur tanpa perintah. Sebuah pengingat bahwa alam tak selalu butuh manusia untuk bertahan, tapi manusia selalu butuh alam untuk mengingat.

Pal demi pal terus kami lewati, kadang dengan ritme cepat, juga dengan ritme lambat sambil memperhatikan detail alam sekitar atau sekadar memastikan apakah yang kami temui benar adanya. Pal 145, misalnya, muncul dua kali. Kami sempat menghitung ulang, mencocokkan peta. Bukan ilusi, memang ada dua. Entah disengaja atau tidak, tapi seperti kehidupan, kadang satu hal bisa tampil dalam dua wajah yang sama-sama mengklaim sebagai yang asli.

Sebelum pal berikutnya mendua (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Sebelum pal berikutnya mendua (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Pal 146 lebih membingungkan. Letaknya bergeser, tumbang tanpa perlawanan tapi bukan di tempatnya semula. Kami hanya bisa menduga-duga: oleh siapa? Kapan? Untuk apa? Tapi kami tahu, posisi pal yang bergeser tak pernah sekadar persoalan beton. Ia juga cermin dari bagaimana kawasan ini diakses oleh banyak mata.

Lalu pal 147... ah, ini lebih ganjil lagi. Seperti 145, ia juga menggandakan diri. Ada dua pal dengan nomor yang sama berdiri berselang jarak. Kembar tak identik yang menimbulkan tanda tanya. Kami tertawa, lelah tapi geli, sambil mencatat: kawasan ini tak hanya menyimpan batas fisik, tapi juga teka-teki administratif.

Pal 148 rusak. Tersisa setengah serupa tunggak, berdiri separuh nyawa. Ia tak bicara, tapi tubuhnya menceritakan banyak hal. Tentang waktu, cuaca, dan mungkin tangan-tangan yang tak sabar. Ia seperti lansia yang dilupakan, duduk di bangku tua sambil menanti kunjungan yang tak kunjung datang.

Di sebuah tikungan yang menanjak, pal 149 berdiri sendirian. Tak ada pasangan, tak ada tetangga dekat. Ia seperti penjaga tua yang tetap setia pada tugas, walau yang dijaganya kerap dilangkahi. Jalan desa di sebelahnya hidup, namun batas ini tetap sunyi.

Lalu, seperti klimaks dalam kisah panjang, kami bertemu pal 150. Pal terakhir dari daftar hari itu. Dan tak jauh darinya, seolah menunggu dengan sabar, berdiri pal 1. tegak di depan gerbang masuk KHDTK Tabo-Tabo yang elegan dalam kesederhanaannya. 

Situasi di pinggir kawasan (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Situasi di pinggir kawasan (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Pukul tiga sore kami tinggalkan kawasan dan kembali ke Makassar. Kaki pegal, baju lembap dalam totebag, tapi pikiran justru terasa jernih. Ada yang mengendap dalam penelusuran hari itu. Bukan hanya angka-angka pal yang tercatat, tapi cerita-cerita kecil yang muncul dari balik semak, dari gonggongan anjing, dari serpih beton, dan dari pertemuan kami dengan tumbuhan yang menolak punah.

Bagi sebagian orang, pal batas hanyalah tiang beton dengan angka. Tapi bagi kami hari itu, ia adalah penjaga. Diam-diam menegur. Pelan-pelan mengingatkan. Bahwa hutan ini punya cerita, punya garis, dan punya jiwa. Dan tugas kita, mungkin, bukan hanya menjaga batasnya, tapi juga menjaga agar kisahnya tetap bisa dituturkan.

# KHDTK Tabo-Tabo  #HanyaBercerita  #PatroliPenuhCerita  #MenjagaTakSelaluBerisik

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun