Darto mendesah. Ada SMS dari Ahmad di kampung.
Laki-laki itu selalu membayangkan wajah Ahmad adalah hutang. Dulu, sebelum merantau ke Jakarta ia berhutang ke Ahmad uang sebesar lima juta. Untuk modal usaha. Walau sebenarnya uang sebesar itu jika untuk modal usaha dagang kecil-kecilan di Purbalingga juga bisa, tetapi ia lebih memilih merantau ke Jakarta.
“Ayahmu sakit To, aku yang merawatnya. Kalau ada uang, kirimi aku lima juta untuk berobat ayahmu!”
Darto kembali membaca SMS Ahmad. Lima juta? Apakah Ahmad sedang menyindirnya untuk segera melunasi hutangnya? Laki-laki itu tak berani membalas SMS Ahmad.
Ayah Darto memang telah sendirian. Ibunya telam lama meninggal. Laki-laki tua yang dulu ditinggalkan merantau, memang telah memintanya untuk tidak usah memikirkan dirinya. Kalau urusan makan, gampang katanya. Itulah kalimat yang membuat Darto dengan nyaman melenggang merantau ke Jakarta.
Kini dua lebaran laki-laki itu meninggalkan desanya. Meninggalkan ayahnya. Usahanya di Jakarta ternyata tak memenuhi harapan. Modal semakin tipis. Semua yang diperoleh hari itu hanya bisa dihabiskan untuk makan. Membayangkan hutang kepada Ahmad sebesar lima juta, rasanya seperti melihat gundukan bukit berada di depan matanya. Ya, bukit yang sulit untuk didaki. Ditambah lagi kini ada SMS yang mengabarkan ayahnya sakit.
“Kamu jangan sindir aku dengan hutangku Mad. Hutangku akan kubayar, nanti, kalau aku sudah punya.” akhirnya Darto memberanikan diri membalas SMS Ahmad.
“Ayahmu benar sakit To.”
“Aku mau bicara dengannya.”
“Ayahmu sudah tak dapat bicara.”
“Lagian apa urusanmu merawat ayahku?”
“Karena kamu, anaknya, sudah tak peduli lagi! Ingat itu To!”
Mendapat jawaban seperti itu, Darto mendesah. Ia tak berkomentar lagi. HP-nya ditutup. Setengah hatinya tak percaya jika Ahmad merawat ayahnya. Memang, jika melihat tempat tinggal tidak terlalu jauh. Tapi dengan tendensi apa sampai-sampai ia mau merawat ayahnya?
Tiga hari menjelang lebaran Darto pulang kampung.
Dengan menyewa motor ia menyusuri jalan-jalan bersama pemudik lain meninggalkan Jakarta. Ribuan motor, juga mobil-mobil pribadi masing-masing membawa niat yang bermacam-macam. Ada yang kangen orang tua, kangen keluarga, kesepian di Jakarta ditinggal mudik yang lain, uji nyali, empati terhadap pemudik, ingin membuat catatan perjalanan, meyakinkan calon istri dan calon mertua, termasuk yang tanpa tahu apa tujuan mudik.
Darto sendiri dengan niat ingin membuktikan ayahnya sakit setelah tiga hari yang lalu mendapat SMS dari Ahmad. Berangkat pukul satu dini hari Minggu, pukul setengah enam menjelang maghrib baru sampai Tegal. Perjalanan ke Purbalingga entah kapan sampai. Jalanan begitu padat.
***
Tengah malam di masjid rest area Klonengan Prupuk Darto terbangun. Pukul 01.42. Tanda SMS membangunkannya. Ahmad... ngapain tengah malam SMS segala, gumamnya.
“To, lebaran ini kamu harus mudik.”
“Kenapa Mad? Ini baru sampai prupuk.Ayah bagaimana?”
“Tenang saja To. Ayahmu tenang....”
Usai menjalankan shalat shubuh Darto melajukan motor.
Jalan sudah ramai. Darto hanya bisa berhitung dengan jalanan yang tersendat. Sekitar pukul sepuluh atau sebelas mungkin baru sampai. Memang benar, dengan kondisi jalan yang ramai Darto sampai di kampungnya.
Melewati jalan kecil, ia menuju ke arah rumah ayahnya. Namun hatinya gundah ketika melihat rumah kecil itu penuh rerumputan. Bahkan pohon-pohon perdu juga sudah menutupi pintu rumah yang tampak lapuk. Semua seolah menunjukkan kepada dirinya bahwa rumah itu sudah lama tidak berpenghuni.
“Darto! Dartokah ini?” ada suara di belakngnya. Darto menoleh.
“Pak Slamet?”
“Kamu baru pulang To? Apakah Ahmad kemarin tidak memberitahumu?”
“Tidak. Tiga hari HP-ku aku matikan Pak. Ada apa gerangan?”
“Mungkin hari ini Ahmad masih di Si Cengis.”
“Si Cengis? Siapa yang meninggal?”
“Dari kemarin ia mengurus ayahmu. Ayahmu sudah tenang di sana To....”
Lemas tubuh Darto.
Motor yang didudukinya roboh. Tubuh pemuda itu ikut roboh, berdebum ke jalan geragal. Pak Slamet buru-buru memanggil tetangga yang dekat untuk mengurus Darto.
***
Malam hari.
Darto masih tak percaya akan kepergian ayahnya. Lebih tak percaya lagi jika kepergian ayahnya justru diurus oleh Ahmad.
“Aku tak habis pikir mengapa kau urus ayahku Mad?” tanya Darto hampir tak terdengar.
“Ini wasiat ayahku sebelum meninggal. Ayah pernah mewasiatkan agar aku merawat ayahmu yang kau tinggalkan.”
“Ada urusan apa gerangan ayahmu mewasiatkan begitu?”
“Dulu ayahmu pernah menolong ayahku, menyelamatkan ayahku ketika bersama-sama menjadi buruh perkebunan di Rimo sana. Jika bukan karena ayahmu, mungkin ayahku sudah celaka di tangan orang-orang yang mengeroyoknya.”
Darto diam. Ia baru memahami. Tak banyak cerita ayahnya tentang itu. Mungkin karena keikhlasan dari otang tuanya itu, tak pernah memamerkan jasa. Ahmad sendiri juga baru tahu ketika ayahnya baru akan meninggal.
“Aku harus bayar berapa untuk biaya ayahku sakit Mad?”
“Nggak usah. Ngga jadi To.”
“Kenapa?”
“Dana kemakmuran masjid kampung kita sudah melunasinya ....”
“Maad.... oooh... terima kasih atas semua kebaikanmu. Aku yang jadi anak malah tak berguna untuk ayah .... menelantarkan ayah....”
“Sudahlah To, Allah telah menakdirkan ayahmu menuai kebaikan dari kebaikan yang diberikan kepada ayahku. Termasuk akhirnya banyak orang yang memutuskan mengikhlaskan dana masjid untuk biaya rumah sakit....”
“Tapi kamu juga pasti keluar biaya Mad.”
“Nggak usah dipikirkan To.”
“Utangku belum bisa aku bayar Mad.”
“Tenang saja To. Tapi memang hutang harus tetap dibayar, agar kamu bisa merasakah seperti apa rasanya perjuangan hidup ini, serta merasakan bagaiman beratnya memikul tanggung jawab.”
“Ambil saja tanah ayah yang tak seberapa itu, tapi mudah-mudahan cukup untuk melunasi utangku.”
“Jangan To ... tanah itu harus tetap menjadi milikmu. Jangan kau jual. Nanti kau akan menyesal telah kehilangan jejak sejarah di kampung ini.”
“Memang aku sudah tak punya siapa-siapa lagi di sini Mad.”
“Kamu salah To, masih ada aku.”
“Kau bukan siapa-siapa Mad. Justru aku yang berhutang budi padamu.”
“Kamu jangan ngomong gitu. Kampung ini sejarah kita dari kecil. Sejarah yang baru terjadi antar ayah kita juga sejarah yang tidak akan bisa kita lupakan. Lestarikan peninggalan ayahmu walau sedikit. Siapa tahu suatu saat, kau mau membangun rumah di sini. Lumayan, tanah itu cukup untuk membangun tempat tinggal.”
“Mad....”
“Masih ada aku To. Itupun kalau kau mau menganggap aku adalah saudara. Tempat kita bersua kembali ketika lebaran, juga lebaran nanti, dan nantiii....”
“Maaddd....”
Mata Darto terasa panas. Dipandanginya Ahmad, teman sepermainan sejak kecil. Ada rasa tak percaya atas perkataan Ahmad. Benar, ia kini sebatangkara. Tak ada sanak, tak ada saudara.
Bayangan ayahnya berkelebat. Apakah ini berkat kebaikan ayahnya yang selama ini tak diketahuinya? Laki-laki itu menangis. Ia menyesal telah meninggalkan ayahnya. Sama sekali ia tak berfikir bahwa ayahnya membalasnya dengan buah amal, memberinya jalan bagi orang lain untuk mengakuinya sebagai saudara. ***
Purbalingga, 04 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H