Jalan sudah ramai. Darto hanya bisa berhitung dengan jalanan yang tersendat. Sekitar pukul sepuluh atau sebelas mungkin baru sampai. Memang benar, dengan kondisi jalan yang ramai Darto sampai di kampungnya.
Melewati jalan kecil, ia menuju ke arah rumah ayahnya. Namun hatinya gundah ketika melihat rumah kecil itu penuh rerumputan. Bahkan pohon-pohon perdu juga sudah menutupi pintu rumah yang tampak lapuk. Semua seolah menunjukkan kepada dirinya bahwa rumah itu sudah lama tidak berpenghuni.
“Darto! Dartokah ini?” ada suara di belakngnya. Darto menoleh.
“Pak Slamet?”
“Kamu baru pulang To? Apakah Ahmad kemarin tidak memberitahumu?”
“Tidak. Tiga hari HP-ku aku matikan Pak. Ada apa gerangan?”
“Mungkin hari ini Ahmad masih di Si Cengis.”
“Si Cengis? Siapa yang meninggal?”
“Dari kemarin ia mengurus ayahmu. Ayahmu sudah tenang di sana To....”
Lemas tubuh Darto.
Motor yang didudukinya roboh. Tubuh pemuda itu ikut roboh, berdebum ke jalan geragal. Pak Slamet buru-buru memanggil tetangga yang dekat untuk mengurus Darto.