Mohon tunggu...
Diky
Diky Mohon Tunggu... Mahasiswa

My hobbies are playing football and fishing

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Menunggu Nelayan Pulang Sehabis Menangkap Ikan Di Lautan

7 Juli 2025   19:58 Diperbarui: 7 Juli 2025   19:58 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto:seorang nelayan yang pulang melaut.sumber (google)

Di sebuah desa kecil bernama Masabuk, yang letaknya tersembunyi di antara bukit-bukit hijau dan lautan biru yang luas, kehidupan berjalan mengikuti irama alam. Matahari menjadi jam utama, angin menjadi pertanda, dan laut menjadi pusat dari segala harapan. Di desa itu, nyaris tak ada yang lebih penting dari lautan. Di situlah rezeki dicari, dan di situlah pula nyawa seringkali dipertaruhkan.

Setiap malam, sebelum langit benar-benar hitam dan bintang-bintang berkelip di atas kepala, deru mesin perahu satu per satu terdengar dari bibir pantai. Para nelayan mengangkat jangkar, mendorong perahu ke lautan, dan mulai berlayar ke tengah gelap, meninggalkan istri, anak, dan rumah yang menyala redup oleh pelita.

Salah satu perahu itu adalah perahu tua, bercat biru yang mulai terkelupas, tetapi tetap setia mengarungi gelombang. Perahu itu dimiliki oleh seorang nelayan yang hidup sederhana, jujur, dan tak pernah mengeluh meski hasil tangkapannya seringkali tak seberapa. Malam itu, seperti biasa, ia berangkat saat angin mulai berhembus kencang dari timur. Istrinya hanya bisa memandangi dari tepi pantai, dan seorang anak duduk di dermaga sambil memeluk lututnya, menatap perahu yang perlahan menjadi titik kecil di tengah lautan.

Menunggu telah menjadi bagian dari kehidupan. Tidak ada yang tahu pasti kapan perahu akan kembali. Kadang pagi menjelang, kadang siang, dan kadang... tak kembali sama sekali. Di Masabuk, laut adalah sahabat sekaligus misteri. Ia bisa murah hati, tapi bisa juga kejam dalam sekejap.

Pagi itu, langit Masabuk tampak cerah, namun angin yang bertiup semalaman membuat banyak warga khawatir. Ombak sempat tinggi. Beberapa perahu sudah kembali sejak subuh, membawa hasil tangkapan yang bervariasi---ada yang penuh keranjang, ada yang kosong. Tapi perahu biru tua itu belum juga kembali.

Di dermaga, beberapa keluarga berkumpul. Wajah-wajah lelah dan gelisah menyatu dalam diam. Seorang ibu berdiri memandangi cakrawala, anaknya duduk di samping sambil menunduk. Waktu berjalan lambat saat hati diliputi cemas.

Jam demi jam berlalu. Matahari sudah tinggi, tapi harapan belum pudar. Di tempat seperti Masabuk, menunggu bukan hanya pilihan, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Tak ada suara keluh, hanya desahan napas panjang dan doa yang menggantung di udara.

Menjelang siang, saat banyak yang mulai kembali ke rumah, sebuah titik kecil muncul di ujung lautan. Perlahan-lahan mendekat. Beberapa mata mulai menajam. Debaran hati bertambah kencang. Dan saat akhirnya bentuk perahu itu terlihat jelas, semua tahu: itu perahu yang ditunggu-tunggu.

Perahu itu merapat perlahan. Tubuh sang nelayan basah kuyup oleh air laut dan keringat. Wajahnya kelelahan, namun matanya masih menyala. Di perahunya hanya ada beberapa ekor ikan. Tak banyak. Tapi cukup untuk satu hari makan.

Tanpa kata, sang nelayan turun dari perahu, menggenggam erat tangan kecil yang menunggunya, dan berjalan pulang melewati pasir yang masih basah oleh ombak. Di belakang mereka, laut terus bergemuruh---seakan menyimpan jutaan cerita yang belum selesai diceritakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun