Awal yang Membuat Bertanya
Pernahkah Anda menonton sebuah film lalu merasa perut ikut mual karena adegannya terlalu sadis? Atau tiba-tiba merasa risih karena kamera terlalu berlama-lama menyorot kekerasan yang ditampilkan secara detail? Fenomena ini semakin sering muncul di film-film modern. Adegan pertumpahan darah yang dulu cuma ditunjukkan sekilas, kini ditampilkan tanpa sensor, lengkap dengan detail tubuh yang tercabik. Yang dulunya cuma disiratkan, kini digambarkan terang-terangan.
Pertanyaannya, kenapa tren ini makin kuat? Apa yang sebenarnya sedang dicari oleh para pembuat film? Dan lebih penting lagi, apa yang terjadi pada diri Anda sebagai penonton setelah menyaksikan semua itu?
Mengapa Film Makin Sadis?
Kalau ditarik ke belakang, film memang selalu mencerminkan zaman. Dulu, penonton sudah bisa tegang cuma dengan adegan bayangan pisau atau jeritan dari balik pintu. Sekarang, ekspektasi penonton naik. Banyak yang menganggap adegan tanpa detail darah terasa "kurang nyata". Industri pun mengikuti selera itu.
Ada juga faktor persaingan. Dengan begitu banyak film dan platform yang lahir, setiap sutradara ingin karyanya menonjol. Jalan pintasnya kadang adalah membuat sesuatu yang ekstrem. Semakin eksplisit, semakin mudah dibicarakan orang. Semakin vulgar, semakin ramai diperbincangkan di media sosial. Padahal belum tentu semakin dalam maknanya.
Psikologi di Balik Sensasi
Dari sisi psikologi, manusia memang punya dorongan alami untuk mencari sensasi. Ada rasa penasaran terhadap hal-hal ekstrem. Mirip seperti saat orang menonton kecelakaan di jalan---sudah tahu menyeramkan, tapi tetap saja melirik. Otak kita dipicu oleh rasa ingin tahu yang bercampur dengan rasa takut.
Masalahnya, kalau stimulus seperti ini terus-menerus dikonsumsi, otak akan terbiasa. Adegan yang dulu membuat Anda kaget, lama-lama terasa biasa saja. Inilah yang disebut desensitisasi. Akibatnya, film harus semakin ekstrem untuk bisa memancing reaksi yang sama. Dan tanpa sadar, Anda ikut terseret dalam lingkaran itu.
Realitas Sosial yang Tercermin
Dari kacamata sosiologi, ada kaitan antara tontonan dengan kondisi masyarakat. Dunia sekarang dipenuhi berita kekerasan, konflik, dan tragedi. Media setiap hari menayangkan potret kehidupan yang keras. Film kemudian mengambil inspirasi dari realitas itu, lalu memperbesarnya menjadi hiburan.
Padahal, hiburan seperti itu sering kali justru menambah rasa lelah. Anda mungkin sudah cukup jenuh dengan tekanan hidup sehari-hari---pekerjaan yang menumpuk, persaingan yang ketat, biaya hidup yang naik. Tapi ketika mencari hiburan, malah disuguhi potret kesadisan yang membuat hati tambah tumpul.
Filosofi Tentang Kekerasan
Kalau dilihat dari filsafat, manusia memang punya hubungan rumit dengan kekerasan. Di satu sisi, ia dianggap sesuatu yang destruktif. Di sisi lain, banyak filsuf menyebut kekerasan sebagai cermin dari dorongan dasar manusia untuk berkuasa. Film seolah memberi ruang bagi dorongan itu untuk "ditonton" tanpa benar-benar dilakukan.
Tapi di sinilah letak bahaya. Kalau Anda terlalu sering menyerap gambaran itu, batas antara tontonan dan kenyataan bisa kabur. Kekerasan bukan lagi sekadar fiksi, tapi bisa terasa seperti bagian normal dari kehidupan sehari-hari.