Tapi filsafat kebebasan mengajarkan, tidak ada kebebasan yang benar-benar mutlak. Kebebasan selalu berdampingan dengan tanggung jawab. Anda boleh bicara, tapi harus siap dengan konsekuensinya.
Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, pernah mengatakan: manusia dikutuk untuk bebas. Maksudnya, kita bebas memilih, tapi tidak bisa lari dari tanggung jawab atas pilihan itu. Media sosial persis menggambarkan hal ini. Setiap postingan adalah pilihan. Dan setiap pilihan membawa konsekuensi, entah disukai atau dibenci.
Menjaga Jejak Digital dengan Bijak
Akhirnya, kembali pada pertanyaan sederhana: apa tujuan Anda memposting sesuatu? Kalau tujuannya sekadar pamer, mungkin sebaiknya dipikir ulang. Kalau tujuannya berbagi manfaat, pastikan isi sesuai. Kalau tujuannya curhat, pertimbangkan tempat yang lebih aman daripada ruang publik.
Hidup di era digital memang membuat semua orang punya mikrofon. Tapi tidak semua hal pantas diucapkan keras-keras. Ada hal yang lebih baik disimpan. Ada yang cukup dibicarakan dengan orang terdekat. Dan ada yang bisa dibagikan, tapi dengan cara yang bijak.
Jejak digital bisa jadi ladang kebaikan, tapi bisa juga jadi beban panjang. Semua kembali pada bagaimana Anda menggunakannya.
Jadi, sebelum jari Anda menekan tombol "post", berhentilah sejenak. Tanyakan pada diri: apakah ini akan membawa manfaat, atau cuma menambah kebisingan? Apakah ini akan mendekatkan pada kebaikan, atau justru membuka celah masalah?
Pertanyaannya sekarang: kalau Anda menoleh ke belakang lima atau sepuluh tahun mendatang, kira-kira postingan seperti apa yang ingin Anda tinggalkan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI