Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Kumpul Keluarga Berubah Jadi Ajang Perbandingan

4 April 2025   08:00 Diperbarui: 3 April 2025   10:59 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berhentilah saling membandingkan dalam acara keluarga (pressfoto/Freepik)

Kumpul keluarga besar seharusnya jadi momen penuh kehangatan. Bertemu saudara yang sudah lama tak bersua, berbagi cerita, tertawa bersama, dan mengingat kembali kenangan masa kecil. Tapi, kenyataannya, banyak dari kita justru merasa cemas sebelum acara itu dimulai. Ada perasaan tidak nyaman yang mengendap. Bukan karena makanannya kurang enak atau tempatnya kurang nyaman, tapi karena satu hal yang hampir selalu terjadi: perbandingan.

Entah siapa yang mulai, tiba-tiba obrolan berbelok ke arah pencapaian. Si A sudah jadi dokter. Si B sekarang manager di perusahaan ternama. Si C bisnisnya sukses besar. Semuanya terdengar seperti sebuah kompetisi tak berkesudahan. Sebagian anggota keluarga mungkin ikut berbangga, tapi ada juga yang cuma bisa tersenyum tipis, menahan perasaan yang sulit dijelaskan. Mereka yang masih berjuang, yang mungkin belum mendapatkan pekerjaan, yang masih mencari arah hidup, atau yang jalannya tak seindah itu, sering kali merasa kecil dan tak berharga.

Kesempatan Tidak Datang Sama untuk Semua Orang

Sering kali kita lupa kalau hidup ini bukan soal siapa yang paling cepat sukses. Ada banyak faktor yang berperan dalam pencapaian seseorang. Ada yang berkesempatan mendapatkan pendidikan tinggi, ada yang lahir di keluarga yang sudah mapan, ada yang bertemu dengan orang-orang yang mendukungnya sejak awal. Sebaliknya, ada juga yang harus berjuang dari nol, yang harus bekerja keras cuma untuk menyambung hidup, yang menghadapi berbagai keterbatasan yang tak terlihat di permukaan.

Islam sendiri mengajarkan kita untuk tidak mengukur kesuksesan cuma dari duniawi. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman kalau manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal, bukan untuk saling merendahkan atau merasa lebih tinggi dari yang lain. Yang paling mulia di sisi Allah bukanlah yang paling kaya, paling sukses, atau paling berpendidikan, melainkan yang paling bertakwa.

Dalam kehidupan, kita tidak bisa mengabaikan peran takdir. Ada yang sejak kecil sudah mendapatkan fasilitas lengkap, ada yang lahir di lingkungan yang mendukung, dan ada yang harus bertahan dengan kondisi yang jauh lebih sulit. Tidak semua orang bisa mendapatkan pendidikan tinggi, tidak semua orang bisa mendapatkan mentor yang tepat, dan tidak semua orang memiliki akses terhadap peluang yang besar. Oleh karena itu, membandingkan pencapaian seseorang dengan orang lain tanpa melihat latar belakangnya adalah hal yang tidak adil.

Perbandingan yang Tidak Sehat dan Efeknya

Sering kali, perbandingan yang terjadi dalam keluarga bukan sekadar basa-basi. Kata-kata yang terdengar ringan bisa meninggalkan luka yang dalam. "Kok masih di rumah aja? Teman seangkatanmu udah punya mobil." Atau, "Anaknya si X udah kerja di luar negeri, kamu kapan nyusul?" Ucapan-ucapan seperti ini bisa meruntuhkan kepercayaan diri seseorang, membuatnya merasa gagal, bahkan menanamkan rasa iri dan tidak puas dalam hati.

Islam mengingatkan kita untuk tidak iri terhadap rezeki orang lain. Dalam Surah An-Nisa ayat 32, Allah berfirman, "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain." Sebab, setiap orang punya ujian dan rezekinya masing-masing. Apa yang terlihat seperti keberhasilan bisa jadi datang dengan ujian yang berat, dan apa yang tampak seperti kegagalan mungkin adalah jalan menuju sesuatu yang lebih baik di kemudian hari.

Perbandingan yang tidak sehat juga bisa memicu persaingan yang tidak perlu dalam keluarga. Saudara yang awalnya akrab bisa mulai menjaga jarak karena merasa tersaingi. Percakapan yang seharusnya penuh kehangatan berubah menjadi ajang pamer. Bahkan, tidak jarang ada anggota keluarga yang mulai menjauh karena merasa tidak bisa memenuhi ekspektasi yang diberikan oleh lingkungan keluarga.

Membangun Keluarga yang Saling Mendukung, Bukan Saling Menjatuhkan

Daripada menjadikan kumpul keluarga sebagai ajang perbandingan, seharusnya kita menjadikannya sebagai ruang untuk saling mendukung. Islam mengajarkan kita untuk memperlakukan orang lain dengan baik, termasuk dalam berkata-kata. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim). Kalau kata-kata kita tidak membawa manfaat, lebih baik kita menahan diri.

Mungkin sudah saatnya kita mengubah cara kita berbicara dalam keluarga. Alih-alih bertanya tentang status pekerjaan atau gaji, mengapa tidak bertanya, "Bagaimana kabarmu? Apa yang membuatmu bahagia akhir-akhir ini?" Daripada memuji seseorang karena sukses materi, mengapa tidak menghargai mereka karena kebaikan hatinya atau perjuangannya? Keluarga seharusnya menjadi tempat yang aman, di mana setiap orang merasa dihargai bukan karena pencapaiannya, tapi karena dirinya sendiri.

Sikap saling mendukung ini bisa dimulai dengan hal-hal kecil. Menghargai perjuangan saudara yang masih mencari pekerjaan, memberikan semangat kepada mereka yang sedang merintis usaha, atau sekadar mendengarkan tanpa menghakimi bisa membuat perbedaan besar. Kadang, seseorang cuma butuh didengar tanpa harus diberi nasihat atau dibandingkan.

Rezeki Itu Luas, Setiap Orang Punya Jalannya Masing-Masing

Salah satu kunci supaya kita tidak terjebak dalam perbandingan yang menyakitkan adalah dengan memahami konsep rezeki dalam Islam. Rezeki bukan cuma uang, jabatan, atau prestasi akademik. Kesehatan, keluarga yang harmonis, teman yang baik, bahkan ketenangan hati juga termasuk rezeki. Kadang, seseorang yang terlihat sukses dalam kariernya justru merasa kosong secara batin, sementara yang lain yang hidupnya sederhana justru merasakan kebahagiaan yang luar biasa.

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya rezeki itu akan mencari seseorang sebagaimana ajal mencarinya." (HR. Abu Nu'aim). Artinya, apa yang menjadi bagian kita dalam hidup ini tidak akan tertukar. Tidak ada gunanya iri terhadap keberhasilan orang lain, karena setiap orang telah ditentukan rezekinya sesuai dengan kehendak Allah. Tugas kita adalah berusaha sebaik mungkin, sambil tetap bersyukur dan berserah diri.

Kesimpulan: Kembali ke Esensi Keluarga

Keluarga adalah tempat pulang. Tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. Kalau selama ini kumpul keluarga terasa lebih seperti ajang perlombaan, mungkin sudah saatnya kita mengubahnya. Mulailah dengan diri sendiri. Berhentilah membandingkan, berhentilah bertanya hal-hal yang bisa menyakiti hati orang lain. Sebaliknya, jadilah pendengar yang baik, jadilah orang yang bisa memberikan semangat.

Hidup bukan tentang siapa yang sampai duluan, tapi tentang bagaimana kita menjalani perjalanan ini dengan hati yang bersih dan penuh syukur. Di hadapan Allah, yang terpenting bukanlah gelar atau jabatan, tapi amal dan keikhlasan kita. Semoga kita bisa menjadi keluarga yang saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati bukanlah ketika kita menang dalam kompetisi tak terlihat ini, tapi ketika kita bisa menjalani hidup dengan hati yang tenang dan penuh keberkahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun