Kumpul keluarga besar seharusnya jadi momen penuh kehangatan. Bertemu saudara yang sudah lama tak bersua, berbagi cerita, tertawa bersama, dan mengingat kembali kenangan masa kecil. Tapi, kenyataannya, banyak dari kita justru merasa cemas sebelum acara itu dimulai. Ada perasaan tidak nyaman yang mengendap. Bukan karena makanannya kurang enak atau tempatnya kurang nyaman, tapi karena satu hal yang hampir selalu terjadi: perbandingan.
Entah siapa yang mulai, tiba-tiba obrolan berbelok ke arah pencapaian. Si A sudah jadi dokter. Si B sekarang manager di perusahaan ternama. Si C bisnisnya sukses besar. Semuanya terdengar seperti sebuah kompetisi tak berkesudahan. Sebagian anggota keluarga mungkin ikut berbangga, tapi ada juga yang cuma bisa tersenyum tipis, menahan perasaan yang sulit dijelaskan. Mereka yang masih berjuang, yang mungkin belum mendapatkan pekerjaan, yang masih mencari arah hidup, atau yang jalannya tak seindah itu, sering kali merasa kecil dan tak berharga.
Kesempatan Tidak Datang Sama untuk Semua Orang
Sering kali kita lupa kalau hidup ini bukan soal siapa yang paling cepat sukses. Ada banyak faktor yang berperan dalam pencapaian seseorang. Ada yang berkesempatan mendapatkan pendidikan tinggi, ada yang lahir di keluarga yang sudah mapan, ada yang bertemu dengan orang-orang yang mendukungnya sejak awal. Sebaliknya, ada juga yang harus berjuang dari nol, yang harus bekerja keras cuma untuk menyambung hidup, yang menghadapi berbagai keterbatasan yang tak terlihat di permukaan.
Islam sendiri mengajarkan kita untuk tidak mengukur kesuksesan cuma dari duniawi. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman kalau manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal, bukan untuk saling merendahkan atau merasa lebih tinggi dari yang lain. Yang paling mulia di sisi Allah bukanlah yang paling kaya, paling sukses, atau paling berpendidikan, melainkan yang paling bertakwa.
Dalam kehidupan, kita tidak bisa mengabaikan peran takdir. Ada yang sejak kecil sudah mendapatkan fasilitas lengkap, ada yang lahir di lingkungan yang mendukung, dan ada yang harus bertahan dengan kondisi yang jauh lebih sulit. Tidak semua orang bisa mendapatkan pendidikan tinggi, tidak semua orang bisa mendapatkan mentor yang tepat, dan tidak semua orang memiliki akses terhadap peluang yang besar. Oleh karena itu, membandingkan pencapaian seseorang dengan orang lain tanpa melihat latar belakangnya adalah hal yang tidak adil.
Perbandingan yang Tidak Sehat dan Efeknya
Sering kali, perbandingan yang terjadi dalam keluarga bukan sekadar basa-basi. Kata-kata yang terdengar ringan bisa meninggalkan luka yang dalam. "Kok masih di rumah aja? Teman seangkatanmu udah punya mobil." Atau, "Anaknya si X udah kerja di luar negeri, kamu kapan nyusul?" Ucapan-ucapan seperti ini bisa meruntuhkan kepercayaan diri seseorang, membuatnya merasa gagal, bahkan menanamkan rasa iri dan tidak puas dalam hati.
Islam mengingatkan kita untuk tidak iri terhadap rezeki orang lain. Dalam Surah An-Nisa ayat 32, Allah berfirman, "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain." Sebab, setiap orang punya ujian dan rezekinya masing-masing. Apa yang terlihat seperti keberhasilan bisa jadi datang dengan ujian yang berat, dan apa yang tampak seperti kegagalan mungkin adalah jalan menuju sesuatu yang lebih baik di kemudian hari.
Perbandingan yang tidak sehat juga bisa memicu persaingan yang tidak perlu dalam keluarga. Saudara yang awalnya akrab bisa mulai menjaga jarak karena merasa tersaingi. Percakapan yang seharusnya penuh kehangatan berubah menjadi ajang pamer. Bahkan, tidak jarang ada anggota keluarga yang mulai menjauh karena merasa tidak bisa memenuhi ekspektasi yang diberikan oleh lingkungan keluarga.
Membangun Keluarga yang Saling Mendukung, Bukan Saling Menjatuhkan
Daripada menjadikan kumpul keluarga sebagai ajang perbandingan, seharusnya kita menjadikannya sebagai ruang untuk saling mendukung. Islam mengajarkan kita untuk memperlakukan orang lain dengan baik, termasuk dalam berkata-kata. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim). Kalau kata-kata kita tidak membawa manfaat, lebih baik kita menahan diri.
Mungkin sudah saatnya kita mengubah cara kita berbicara dalam keluarga. Alih-alih bertanya tentang status pekerjaan atau gaji, mengapa tidak bertanya, "Bagaimana kabarmu? Apa yang membuatmu bahagia akhir-akhir ini?" Daripada memuji seseorang karena sukses materi, mengapa tidak menghargai mereka karena kebaikan hatinya atau perjuangannya? Keluarga seharusnya menjadi tempat yang aman, di mana setiap orang merasa dihargai bukan karena pencapaiannya, tapi karena dirinya sendiri.