Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Lorong Sewarna Tembaga

3 Mei 2019   22:30 Diperbarui: 3 Mei 2019   22:48 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sinar matahari mewarna tembaga di pohon-pohon jati
Melorong-memanjang, menghangatkan sore yang sepi

"Akan kulewatkan barang seminggu di rumah berdinding bukit," katamu tentang sore
 
"Tetapi selalu saja waktu serasa berdesak-himpit," kutemui senyum serupa keluhan di dekat sepasang mata murammu

Aku berhenti di antara sore yang melorong sewarna tembaga di sisi jauh
Matahari sepertinya sedang bermain di antara pohon-pohon jati yang berjajar

"Boleh dengan sedikit gula?" kuingat sebuah tanya yang pernah kuberikan kepadamu tentang secangkir teh di sore yang hangat bertahun lalu, di ruang tamu yang terlihat lebih pendek saat jenjang langkahmu melintasi lantainya

Lalu tanganmu menambahkan gula, bersama tubuh yang harus membungkuk lebih rendah di balai bertikar pandan

Rasanya memang tidak ada masa yang berlalu
Semua selalu hadir kembali saat sore menjadi sewarna tembaga, melintasarungi waktu yang entah akan ke mana pergi

Saat sore berlalu, gelap membungkus pohon-pohon jati
Derik serangga bernyanyi senyaring dawai-dawai biola menyanyikidungkan malam

| Tepus | 1 Mei 2019 | 15.00 |

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun