Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Satu Malam yang Mencekam

9 Mei 2020   16:48 Diperbarui: 9 Mei 2020   18:43 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kita yang pertama? Aman gak nih? Jangan-jangan belum ada yang berani itu karena ada sesuatu yang membahayakan Mad." Dahi Defan mengernyit memikitkan alasan-alasan mengapa belum pernah ada orang yang melakukan kemping di sana. Kepalanya mulai menerka-nerka.

"Ya... tak perlu khawatir laah... Orang lain belum pernah, bisa jadi kan memang tempat itu belum mereka ketahui. Apa salahnya jika kita coba. Kalau perizinannya bgus, tempatnya enak, nanti yang lain bakalan ikut kita. Iya gak?"

Defan hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya sebagai bentuk apresiasi terhadap pekerjaan kawannya sebagai koordinator lapangan.

Sejak saat itu keraguan-keraguan, dan kecemasan-kecemasan muncul. Kecemasannya bertambah banyak ketika hari berikutnya ia diajak oleh Ahmad untuk melihat tempatnya langsung, ada semacam kekhawatiran yang luar biasa dalam hati dan pikirannya.

Sebuah lapangan sepak bola berada di atas bukit. Di kiri kanan jalan kedatangan terpasang tiang gawang yang terbuat dari bambu. Sepertinya ini memang lapangan sepak bola kampung setempat yang digunakan musiman.

Tampak sekali jarang tersentuh pemain. Rumputnya tinggi, hanya tampak rumput-rumput bekas saputan sabit pencari rumput untuk makanan ternak. Di bagian sudut timur lapangan ada sebuah rumpun bambu yang tampak rindang. Sepertinya sengaja ditanam untuk berteduh para pemain sepak bola selepas permainannya. Karena di sana tidak ada lagi pohon selain rumpun bambo itu.

Memandang ke sekeliling hanya tampak bukit-bukit lain. Pohon-pohon Albasiah dan ladang singkong memenuhi seluruh pemandangan. Tampak beberapa pohon pinus di antara pohon-pohon albasiah.

Lapangan itu jauh dari sumber air. Satu-satunya sumber air ada di masjid yang jaraknya kurang lebih satu kilo meter sebelum pendakian menuju tanah lapang itu.

Jalan menuju masjid yang disebutkan Ahmad cukup curam. Jalan setapak dengan tanah merah yang jika hujan turun pasti jalan itu sangat licin. Rumah di sekitar masjid hanya ada tiga rumah. Masjid itu cukup jauh dari pemukiman penduduk.

Masjid itu adalah bangunan tua yang masih tampak kokoh. Dindingnya berwarna putih pucat, berpagar besi yang tua berkarat. Di depannya ada sebuah kolam besar dan sebuah jamban beratapkan asbes. Airnya bening, begitu deras keluar dari pipa bambu berukuran besar. Seandainya dipakai air minum pasti segar bahkan tanpa dimasak sekalipun.

Lantai halaman masjid dipasangi papingblock rapi, tapi sudah ditumbuhi lumut membuat semuanya nyaris berwarna hijau.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun