Bagian 9 – Bayangan yang Mengintai
Malam itu, Purworejo diselimuti keheningan yang aneh. Lampu-lampu jalan di sekitar alun-alun masih menyala, tetapi terasa redup, seolah cahaya enggan menembus pekatnya udara. Dira duduk di kamarnya, menatap catatan-catatan tua yang baru saja ditemukannya bersama Arga di balik pintu rahasia beringin kembar. Setiap lembar catatan berisi tanda, simbol, bahkan nama-nama yang asing di telinganya. Namun ada satu nama yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat, Surya Wijaya, nama kakek yang selama ini tak pernah banyak diceritakan keluarganya.
Dira menelusuri huruf demi huruf, mencoba mencari kaitannya dengan dirinya. “Kenapa semua ini disembunyikan? Apa hubungannya dengan aku?” bisiknya. Di luar, suara jangkrik terdengar begitu jelas, seolah ikut mengiringi kegelisahan dalam hatinya.
Sementara itu, Arga yang sedari tadi ikut meneliti tampak resah. Tatapannya terus beralih dari catatan ke jendela kamar Dira. Ia merasa seolah ada sesuatu atau seseorang yang memperhatikan mereka dari luar. “Ra, kau tidak merasa… ada yang mengawasi kita?” tanyanya pelan.
Dira terdiam. Hatinya seketika merinding. Ia mencoba menepis perasaan itu, tapi instingnya berkata lain. Perlahan, ia bangkit, melangkah menuju jendela, lalu mengintip ke luar. Dan di sanalah ia melihatnya bayangan hitam berdiri tegak di bawah cahaya lampu jalan, tepat di seberang rumahnya. Wujudnya samar, namun jelas bahwa seseorang sedang mengintai.
“Arga…” suara Dira bergetar, “kau lihat itu?”
Arga buru-buru mendekat, menyingkap tirai. Tetapi saat ia menatap keluar, bayangan itu sudah lenyap. Hanya sisa hembusan angin malam yang menggoyang pepohonan. “Mungkin hanya perasaanmu,” ujarnya mencoba menenangkan, meski wajahnya sendiri tak bisa menyembunyikan rasa cemas.
Namun Dira tahu, apa yang dilihatnya nyata. Bayangan itu bukan ilusi. Ada seseorang yang tahu mereka telah menemukan catatan-catatan rahasia itu.
Malam semakin larut. Mereka memutuskan menyimpan dokumen-dokumen tersebut di sebuah kotak kayu kecil, lalu menyembunyikannya di bawah tempat tidur Dira. Namun, sesaat sebelum tidur, Dira kembali mendengar suara aneh. Bukan lagi jangkrik, melainkan ketukan pelan di jendela kamarnya.
“Tok… tok… tok…”
Dira menahan napas. Ia menoleh ke arah Arga yang sudah setengah terlelap. “Arga… kau dengar itu?” bisiknya. Arga langsung terbangun, dan tanpa pikir panjang, ia mendekat ke jendela. Begitu tirai disibakkan, tak ada apa-apa di luar. Tapi di kaca jendela, tampak bekas sidik jari berdebu seolah seseorang baru saja menempelkan tangannya di sana.
Mereka saling berpandangan. Kali ini, tidak ada yang bisa menyangkal. Ada bayangan yang mengikuti mereka, dan ia semakin dekat.