Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kebohongan Patologis: Ternyata Bohong Butuh Usaha

6 Maret 2022   19:35 Diperbarui: 3 April 2022   21:06 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : berbohong | via unsplash.com @Kristina Flour

"We lie when honesty won't work" (Timothy R. Levine)

Wew... lama ya sudah tak bersua(ra)? Sebagai pembuka langkah di bulan ini, saya ingin sekali berbagi dengan Anda tentang kebohongan. 

Kay, berbohong. Bila di antara teman-teman ada yang belum pernah berbohong, ayo silakeun angkat tangan! 

Hmm, bagi yang berani mengangkat tangan, saya angkat jempol untuk Anda!  Aissh, sudahlah langsung saja, yes. Let's cekidot, mai fren...

Motivasi Melakukan Kebohongan

beragam motivasi seseorang dalam melakukan kebohongan terkadang tak dapat terdeteksi | via unsplash.com @Afif Kusuma
beragam motivasi seseorang dalam melakukan kebohongan terkadang tak dapat terdeteksi | via unsplash.com @Afif Kusuma


Setiap orang mempunyai alasan tersendiri untuk berbohong. Ya, terkadang mereka berbohong untuk meningkatkan self esteem; mempertahankan agar diri sendiri mendapatkan keberhargaannya di hadapan orang lain. 

Kadang seseorang berbohong karena tidak ingin melukai perasaan orang lain. Atau juga karena ingin mendapatkan simpati dari orang-orang di sekitarnya. 

Bahkan saat kita berhadapan dengan seseorang yang sebenarnya kita tidak suka sikapnya, tetapi karena ia adalah klien penting perusahaan maka ya, kita pun harus bersikap baik terhadapnya. 

Tetap tersenyum meski rasanya ingin melempar palu godam; senantiasa ramah padahal sebenarnya sangat sebal dengan kepribadiannya. Benar atau benar? Bukankah yang kita lakukan pada saat itu adalah kebohongan? 

Sekali lagi, di sini saya tidak akan berusaha ndakik-ndakik memberikan nasehat beserta tips trik jitu supaya kita dapat menghindar dari kebohongan. Atau bahkan akan mengulas semua hitam putihnya kebohongan. Bukan keahlian saya itu. 

Menurut sebuah studi yang saya ambil dari Journal of Intercultural of Communication Research (2016) ditemukan bahwa alasan terbesar seseorang berbohong adalah karena ingin menutupi kesalahannya (22%). Wow... Jadi ingat Adam and Eve in Eden. 

Selain itu, ada yang berbohong dengan alasan ingin menumbuhkan self impression (8%), ada pula karena alasan untuk mendapatkan manfaat dari orang lain dalam hal materi (16%) atau immateri (15%), ada pula yang berbohong hanya ingin menjadi humoris, lalu ada pula untuk kepentingan altruistik, demikian halnya seseorang melakukan kebohongan karena tidak ingin menyakiti orang lain. 

Dari semua alasan-alasan yang muncul, ada dua alasan yang menarik perhatian saya. Ada 7% dari keseluruhan 448 responden tersebut adalah mereka yang berbohong tanpa disertai alasan atau motivasi apapun. Bahkan bukan untuk keuntungan mereka sendiri. Sementara 2% diantaranya berbohong karena alasan patologis.

Apaan Sih Pathological Lying? 

Ilustrasi : kebohongan  patologis seringkali dilakukan tanpa sadar oleh pelakunya | via unsplash.com @Vitolda Klein
Ilustrasi : kebohongan  patologis seringkali dilakukan tanpa sadar oleh pelakunya | via unsplash.com @Vitolda Klein

Nah, apakah itu pathological lying? Yuk kita sediliki kulik sedikit 

Pathological lying (Kebohongan Patologis) merupakan kebohongan yang dilakukan secara kompulsif. Seringkali tanpa didasari alasan apa pun. 

Jadi begini, saudara. Aktivitas obsesif merupakan pikiran yang meskipun secara sadar kita mengerti sangat mengganggu dan tidak kita sukai, namun keberadaannya tidak mampu kita tekan, lupakan, maupun hilangkan. 

Sebagai respon dari pikiran obsesif akan timbul reaksi atau tindakan kompulsif. Yaitu tindakan secara berulang karena adanya dorongan yang sangat kuat dalam diri kita. 

Kebohongan patologik lebih dikenal sebagai pseudologia fantastica atau biasa juga disebut sebagai mythomania. 

Pada masa yang lalu kebohongan patologis ini masih dianggap sebagai gangguan mental sebagaimana tertuang dalam dalam DSM III. 

Namun dalam perkembangannya, kini kebohongan patologis bukan berdiri sebagai diagnosa gangguan kesehatan mental, baik menurut ICD X maupun DSM V. 

Mengapa demikian? Kebohongan patologis dianggap tidak dapat terdeteksi dengan jelas. Bahkan selama ini kebohongan patologis telah menjadi perdebatan panjang di kalangan ahli kejiwaan. 

Di sisi lain, pada beberapa dekade terakhir banyak ahli menyepakati bahwa kebohongan patologis menjadi gejala penyerta pada beberapa jenis gangguan mental. 

Seperti halnya disebutkan dalam kitab DSM V, beberapa gangguan mental tersebut antara lain seperti, borderline personality disorder, antisosial, atau bisa juga narcisistic personality disorder.

Seseorang dengan perilaku kebohongan patologis akan melakukan kebohongan demi kebohongan terus menerus secara berulang. Bahkan kebohongan tersebut dilakukan tanpa sadar. 

Namun ada pula individu dengan perilaku kebohongan patologis akan melakukan kebohongan dengan tujuan tertentu. Misalnya saja, demi meningkatkan keberhargaan diri. 

Kondisi Tubuh Saat Kita Melakukan Kebohongan Berulang

Baiklah. Mari sedikit kita intip sedikit, apa yang terjadi pada sistem syaraf otak  ketika kita berbohong untuk tujuan keuntungan pribadi kita. 

Masih dari studi yang sama, Dr. Thali Sharot (University College London Experimental Psychology) melakukan penelitian mengenai kondisi tubuh pada saat kita melakukan kebohongan. 

Salah satu bagian otak yang seringkali saya angkat di setiap artikel saya, amygdala, yakni satu bagian otak bersebelahan dengan hippocampus, yang mengatur emosi kita. 

Salah satu tugas amygdala adalah mengawasi apakah informasi yang kita tangkap dari aktivitas indera kita berbahaya bagi diri kita atau tidak. 

Apabila ada sesuatu yang oleh amygdala ditangkap sebagai hal yang membahayakan, maka amygdala akan memberikan sinyal negatif agar tubuh kita berwaspada. 

Begitu pula pada saat kita pertama kali melakukan kebohongan yang bertujuan untuk memberi keuntungan bagi diri kita, amygdala akan bekerja secara aktif. 

Amygdala akan melakukan penolakan terhadap segala rancangan kebohongan yang kita susun. Akan tetapi, dorongan untuk berbohong pun sangat besar. 

Pernahkah keringat dingin keluar dari tubuh kita, lalu ada rasa takut, cemas dan kuatir bagaimana bila nanti kita ketahuan berbohong? Nah, seperti itulah. 

Lalu apa yang terjadi bila kita memilih berbohong kemudian tidak terjadi apa pun yang membahayakan kita? Waaah, amaan... Begitu bukan? 

Di lain kesempatan, karena pengalaman berbohong tersebut disimpan sebagai sesuatu yang tidak membahayakan, maka ketika ada impuls yang sama masuk ke dalam otak kita amygdala tidak akan meresponnya lagi sebagai sesuatu yang membahayakan diri kita. 

Pengalaman tersebut diasosiasikan sebagai sesuatu yang sudah biasa. Sehingga, dalam hal ini seseorang akan merasa terbiasa untuk berbohong. Bahkan bagi beberapa orang kemudian timbul respon yang kompulsif. 

Kebohongan patologis dilakukan dengan sangat akurat dan terperinci. Tentu saja kebohongan ini membutuhkan tenaga ekstra. 

Bila demikian, mengapa masih saja dilakukan? 

Perlu diketahui bahwa para penyintas kebohongan patologis tidak mampu membedakan antara imajinasi dan kenyataan. Hal inilah yang membuat kebohongan ini sulit terdeteksi. 

Mengingat bahwa kebohongan  patologis merupakan penyerta dari beberapa gangguan mental tertentu, maka untuk dapat mendiagnosa apakah seseorang melakukan kebohongan patologis atau tidak, harus dengan penegakan diagnosa oleh ahli jiwa berlisensi. 

Itulah mengapa saya ingin menyampaikan juga bahwa artikel ini saya unggah hanya untuk kepentingan edukasi. 

Bila ada teman-teman yang merasa memiliki kondisi yang sama, alangkah baiknya bila tidak melakukan self diagnose. 

Yuk mari, kunjungi ahli jiwa berlisensi yang terdekat. 

Salam sehat, salam sadar. 

Penulis

Sumber: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun