Mohon tunggu...
Diah Dyo
Diah Dyo Mohon Tunggu... Guru - Emak tangguh

Lebih menyukai cerita dengan akhir bahagia, dan berharap bisa membawa kebahagiaan untuk semua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lebaran Penuh Syukur (Part 1)

18 April 2023   12:08 Diperbarui: 19 Mei 2023   16:37 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Adeeeeeek… ih kebiasaan deh. Ini tasnya taruh yang benar, atau kakak buang sekalian ya!” pekik kak Andien dari ruang tamu.  Kak Andien benar-benar tipikal kakak perempuan pertama yang menjadi benteng pertahanan kerapian dan kebersihan di rumah pak Rayyan Bagaskara.

Andini Naura Anindira dan adiknya, Indiana Fawwaz Shidqia adalah dua kakak beradik anak dari pasangan bapak Rayyan Bagaskara dan ibu Reni Anggorowati.  Keluarga kecil yang harmonis penuh cinta itu tinggal di daerah pinggiran ibukota, di lingkungan sederhana yang dipadati dengan bangunan-bangunan rumah petak yang disewakan.

“Kaaaaaak… gak usah pakai teriak-teriak bisa dong, sayang?” ucap Ibu dengan lembut.

“Kebiasaan si adek Kendi ni, bu… kalau naruh apa-apa selalu seenaknya.  Jarang bantu bersih-bersih, tapi seneng banget bikin berantakan.” Sungut kak Andien dengan bibir mengerucut kesal.

“Adeeek, sini sebentar, sayang…” panggil ibu masih dengan kelembutan yang sama.

“Siaaaaap, bu… eh, ada kakak. Sebentar ya, bu. Adek mau taruh tas ini di kamar dulu ya.  Tadi pas pulang sekolah, adek beneran gak bisa nahan soalnya. Kebelet!” ucap Indy beralasan.

“Halah, kebelet… alasan!” sambar kak Andien seraya melayangan tatapan laser tepat ke mata Indy.  Ibu yang duduk di area kerja kecil di sudut ruang tamu, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum

Peace, Kak. Ini mau langsung aku bawa ke kamar kok.” Ucap Indy mencari aman.  “Oh iya, bu.  Kira-kira hari ini, ayah bakal bawa rejeki banyak gak ya?” tanya Indy mengalihkan perhatian kakaknya. “Atau… hari ini ada yang sudah bayar jahitan, apa belum ya, bu?”

“Hehehe… kalau jahitan belum ada yang ambil, dek.  Dan kalau soal rejeki ayah, lebih baik kita doain aja semoga hari ini rejeki ayah banyak ya” jawab ibu sambil tersenyum getir.

“Oh… iya deh.  Aku masuk ya, bu.” Jawaban Indy terdengar sangat kecewa.

“Kenapa sih, kamu pake nanya-nanya soal itu? Kepo banget sih!” sahut Andien judes.  Matanya mengekori gerakan Indy yang melangkah kembali menuju kamarnya.  Tanpa menunggu lama, dia pun mengikuti adiknya masuk ke kamar mereka.

Perbedaan umur yang lumayan jauh antara Andien dan Indy, membuat cara berpikir kedua anak perempuan tersebut sedikit bertentangan.  Andien saat ini berada di kelas 11 SMA, Andien merupakan anak perempuan yang perasa dan bijaksana.  Dia sangat tidak ingin membuat ibu atau ayahnya bersedih karena ucapan atau tindakannya. Sedangkan Indy masih berada di kelas 4 SD, cenderung lebih spontan dan seenaknya.

“Adek, kamu kok nanya ibu kaya begitu sih? Kakak ga tega liat muka ibu tadi loh” tanya kak Andien saat mensejajarkan diri, duduk di sisi tempat tidur mereka.

“Kira-kira kita bakal dibeliin baju baru gak sih, Kak? Aku iri banget deh tadi, si Sarah cerita ke aku kalau dia sudah dibelikan baju, kerudung dan sepatu baru, kak…” Ucap Indy sambil memanyunkan bibirnya. Tampak kecewa terlihat jelas di tatapannya.

“Ssst… Kamu, dek.  Gak usah kenceng-kenceng ngomongnya, nanti ibu dengar.  Lagian kamu inget kan? Ayah dan ibu selalu bilang kalau kita gak boleh iri ama rejeki orang lain, lupa kamu?” ucap kak Andien mencoba untuk berbicara sesantai mungkin. Berusaha kuat untuk tidak berpikiran sama dengan adiknya. 

Sudah dua tahun ini, ayah mereka terpaksa dirumahkan akibat pengurangan karyawan pada saat pandemi.  Saat ini, ayah mereka bekerja sebagai pengemudi ojek online untuk menghidupi keluarga kecilnya.  Beruntung ibu Reni memiliki kemampuan menjahit yang bisa dimanfaatkan untuk membantu perekonomian keluarga.

“Ada Allah, Dek.  Sabar aja. Nanti saat rejeki kita datang, tak perlu diminta, ayah dan ibu pasti beliin semua keperluan lebaran kita.  Percaya deh!” tambah ka Andien. “Kamu memangnya gak kasihan lihat ayah siang, panas terik harus keliling-keliling nganter order. Lihat ibu. Ibu baru bisa istirahat paling cepat jam 11 malam karena harus lembur ngerjain pesanan jahitan orang. Kebayang gak capeknya mereka? Makanya kamu yang sabaaaar!”

“Aaahh iya… tapi kapan?  Sekarang udah hari ke-dua puluh tujuh Ramadhan loh, kak. Kok dari tahun kemarin kita begini terus sih, Kak?” sahut Indy masih belum menerima.

“Istigfar, Indy! Sadar gak sih kamu? Kalau ibu denger, ibu pasti sedih banget.  Udah… mandi sana. Abis itu jangan lupa langsung sholat ashar!” perintah kak Andien tegas.

“He’em…” hanya gumaman pendek yang keluar dari bibir Indy yang masih mengerucut kesal.

Andien sebenarnya sangat mengerti apa yang dirasakan Indy.  Sebagai anak remaja, dia juga sebenarnya ingin memiliki baju-baju atau aksesoris baru yang lucu-lucu.  Terutama saat menjelang hari raya seperti sekarang ini.  Sebelum melangkah keluar kamar, Andien menghembuskan napas panjang untuk mengatur perasaannya.

Ibu masih saja betah berkutat di depan mesin jahit tuanya di sudut ruang tamu. 

“Si Indy kenapa, kak?” tanya ibu. 

“Biasa, bu… drama! Dah gak perlu dipikirin, bu” jawab Andien mencoba menenangkan ibunya.

*.*.*.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun