Mohon tunggu...
Kadek Diah Arya Sita Saraswati
Kadek Diah Arya Sita Saraswati Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Pendidikan IPA Pascasarjana UNDIKSHA

Do the best, be the best, all the best

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Pendidikan : Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi untuk Seorang Guru

15 September 2025   13:18 Diperbarui: 16 September 2025   07:50 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                Sebagai seorang pendidik, kita pasti pernah merasakan duduk di bangku sekolah. Kita pernah merasakan tatapan hangat seorang guru yang mengajar dengan penuh suka cita dan Ikhlas. Selain itu, guru pasti pernah memberi teguran tegas guna mendidik kita menjadi insan yang lebih baik lagi. Dari pengalaman itu kita belajar bahwa Pendidikan bukan sekedar nilai dan ujian, melainkan tentang perjalanan manusia yang mencari jati diri. Melalui Pendidikan kita dibantu untuk membentuk sebuah karakter yang kuat. Namun, Pendidikan sering kali dipandang hanya sebagai proses transfer ilmu dari guru kepada siswa. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, Pendidikan Adalah proses kompleks yang menyangkut hakikat manusia, memperoleh pengetahuan, dan membantu menentukan tujuan hidup seseorang. Oleh sebab itu, filsafat pendidikan menjadi penting, terutama bagi pengejar yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Hal tersebut tidak bisa lepas dari tiga aspek penting filsafat pendidikan.Adapun tiga aspek penting dalam filsafat pendidikan, sebagai berikut:

Sumber: diaharya
Sumber: diaharya


1. Ontologi dalam Hakikat Guru
               Menurut Lorens Bagus (1996) “Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat yang ada (being qua being), yaitu menyelidiki tentang keberadaan secara umum, baik yang bersifat konkret maupun abstrak”.  Berdasarkan pemahaman tersebut, sebagai seorang pendidik harus selalu ingat bahwa tugasnya tidak hanya menyempaikan materi, tetapi sebagai sosok dengan  makna dan peran yang jauh lebih mendasar. Hakikat seorang guru bukan sekedar “ada” karena status profesinya, melainkan karena tanggung jawab social, moral, dan kemanusian yang melekat pada dirinya.
Dalam filsafat ontologis, guru hadir sebagai subjek pendidikan yang eksistensinya menyatu dengan keberadaan siswa. Artinya, seorang guru tidak bisa berdiri sendiri, melainkan menemukan makna keberadaannya melalui interaksi dengan siswa. Seorang guru bisa dikatakan “ada” secara utuh apabila ia mampu menjalankan perannya sebagai fasilitator pengetahuan, pembimbing dalam proses belajar, sekaligus telatan hidup yang pantas dicontoh. Hakikat guru tidak bisa dilepaskan dari tiga hal pokok, yaitu:


1)Sebagai Penyemai Ilmu dan Nilai
             Ontologi mengingatkan bahwa ilmu yang diajarkan selalu memiliki makna lebih dalam. Seorang guru dapat membentuk cara pandang, sikap, dan perilaku siswa terhadap dunia. Oleh karena itu, guru berperan penting dalam menjaga agar pengetahuan yang diajarkan tidak hanya berhenti pada tataran informasi, tetapi juga menjadi sarana untuk menumbuhkan nilai dan kebijaksanaan. Inilah yang dimaksud bahwa guru “ada” dalam arti ontologis yaitu keberadaannya bermakna karena ia menanamkan sesuatu yang akan terus hidup dalam diri siswa, bahkan setelah mereka meninggalkan bangku sekolah.


2)Sebagai Teladan Moral
               Siswa belajar bukan hanya dari apa yang dikatakan oleh guru, tetapi juga dari sikap dan prilaku yang ditunjukkan oleh guru. Seorang guru yang berintegritas akan menanamkan pesan kuat bahwa kejujuran lebih penting daripada sekedar hasil. Guru yang penuh empati mengajrkan siswa untuk peka terhadap sesame. Guru yang disiplin, konsisten, dan bertanggung jawab menanamkan teladan tentang arti kerja keras dan komitmen. Semua itu menunjukkan bahwa nilai – nilai moral tidak ditanamkan melalui ceramah panjnag, melainkan melalui keteladanan nyata. Ontologi pendidikan menekankan bahwa telatan moral seseorang guru tidak bisa dipisahkan dari jati dirinya. Artinya, guru tidak boleh berpura – pura atau hanya menampilkan moralitas di depan siswa.


3)Sebagai Penuntun Kemanusian
             Dalam perspektof ontology, hakikat keberadaan guru tidak dapat dilepaskan dari tugas fundamental pendidikan, yaitu memanusikan manusia (humanisasi). Guru bukan sekedar menyampaikan isi kurikulum, melainkan menjadi panutan agar peserta didik dapat menemukan makna hidupnya, memahami dirinya sendiri, serta mengembangkan potensi yang dimiliki secara utuh. Dengan perat tersebut, guru sejatinya tidak hanya hadir di dalam kelas, melainkan dalam perjalanan hidup siswa. Ontologi menegaskan bahwa guru “ada” sebagai penuntun kemanusiaan karena keberadaannya memberi arah bagi perkembangan eksistensi siswa. Guru menyalakan api kecil dalam diri siswa, yang kelak akan tumbuh menjadi cahaya yang besar ketika mereka menjalani kehidupan sebagai manusia seutuhnya.

               Berdasarkan pemaparan di atas, sebagai seorang guru, saya selalu menyelipkan informasi dan pemahaman tentang nilai – nilai kehidupan. Serta menyampakain dampak yang akan terjadi kedapannya baik pada diri siswa maupun lingkungan sekitar. Contohnya pada saat membahas materi mengenai ekosistem dan keseimbangan lingkungan, selain menjelaskan definisi ekosistem saya juga mengaitkan dengan sikap peduli lingkungan. Seperti tidak membuang sampah sembarangan dan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Dari pembelajaran yang telah didapat, siswa tidak hanya memahami konsep ekosistem, tetapi juga membentuk sikap peduli siswa terhadap lingkungan. Selain hal tersebut, saya berusaha untuk bersikap adil, jujur, disiplin dan menghargai orang lain. Agar kedepannya bisa membantu siswa untuk membangun karekter yang kuat dan berintegritas.


2.Epistemologi dalam Hakikat Guru
                Dalam dunia pendidikan, guru sering dianggap sebagai sumber ilmu. Siswa datang ke kelas, duduk, dan berharap mendapatkan pengetahuan baru dari gurunya. Namun pernahkan kalian merenung: dari mana sebenarnya pengetahuan itu datang? Bagaimana kita tahu bahwa ilmu yang diajarkan memang benar?
Menurut Lorens Bagus (1996) “Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan asal, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.” Sekilas terdengar teoritas, tetapi sesungguhnya sangat dekat dengan keseharian seorang pengajar. Bagi seorang guru, epistemology berfungsi layaknya kompas intelektual. Ia mengingatkan bahwa tugas guru bukan sekedar menyampaikan informasi, tetapi memastikan bahwa pengetahuan yang diberikan kepada siswa memiliki dasar yang sahih, runtut, dan relevan. Epistemologi dalam hakikat guru antara lain:


1)Menggali Sumber Pengetahuan
                 Sebagi seorang pengajar atau guru harus peka terhadap asal – usul ilmu yang diajarkan. Guru tidak boleh hanya menghandalkan buku teks semata, tetapi perlu memastikan bahwa pengetahuan tersebut benar – benar dapat dipertanggungjawabkan. Sumber pengetahuan dapat berasal dari berbagai jalir yaitu penelitian ilmiah, pengalaman langsung, dan tradisi keilmuan. Guru harus mampu menimbang dan memverifikasi sumber – sumber tersebut sebelum diajarkan di kelas. Dengan demikian, siswa terbiasa belajar dari sumber yang valid. Sikap kritis terhadap sumber pengetahuan juga melatih murid untuk tidak mudah menerima informasi begitu saja. Selain itu, menggali sumber pengetahuan juga menuntut guru untuk selalu memperbarui diri. Ilmu pengetahuan bersifat dinamis, apa yang benar hari ini bisa jadi direvisi esok hari.


2)Menyusun Pengetahuan Secara Sistematis
                  Ilmu pengetahuan ibarat sebuah bangunan besar. Tidak mungkin kita langsung berada di lantai atas tanpa terlebih dahulu menapaki tangga demi tangga. Begitu pula dalam proses belajar. Siswa tidak bisa dipaksa memahami konsep yang rumit jika fondasi dasarnya belum kokoh. Epistemologi mengingatkan kita bahwa pengetahuan tidak berdiri sendiri, melainkan saling terhubung satu sama lain. Seorang guru yang menyadari hal ini akan mengajar dengan cara yang lebih runtut, mulai dari konsep sederhana, kemudian beranjak ke tingkat yang lebih kompleks, hingga akhirnya siswa mampu melihat gambaran utuh dari sebuah bidang ilmu.
Misalnya, dalam pembelajar IPA, seorang guru tidak langsung berbicara tentang manusia bisa berjalan sendiri. Ia terlebih dahulu akan menjelaskan tentang sistem gerak pada manusia yang diawali dengan menjelaskan rangka, otot, sendi, dan sebagainya. Dengan penyampaian yang sistematis, murid tidak hanya menerima bahwa manusia bisa berjalan sendiri, tetapi benar – benar memahami bagaimana satu konsep berhubungan dnegan konsep lainnya. Dari sini terbentuklah cara berpikir yang logis dan teratur. Selain membuat materi mudah dipahami, penyusunan yang sistematis juga menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa. Mereka merasa perjalanan bejarnya jelas karena ada awal, proses, dan tujuan, bukan sekedar melemparkan informasi acak tanpa arah.


3)Metode sebagai Jalan Pengetahuan
                    Pengetahuan tidak hanya soal apa yang dipelajari, tetapi juga bagaimana cara memperolehnya. Di sinilah peran metode menjadi sangat penting. Epistemologi mengajarkan bahwa setiap ilmu lahir melalui jalan tertentu, ada yang berbasis pengalaman, ada yang bertumpu pada logika, ada pula yang diuji lewat eksperimen. Bagi seorang guru, kesadaran ini berarti bahwa mengajar tidak bisa dilakukan dengan satu cara saja. Siswa – siswa memiliki gaya belajar yang berbeda, ada yang lebih cepat memahami melalui praktik langsung, ada yang lebih nyaman dengan penjelasan logis, dan ada pula yang belajar paling efektif lewat diskusi. Guru yang memahami pentingnya metode akan lebih bijak memilih pendekatan sesuai kebutuhan siswa. Contohnya, ketika guru menjelaskan tentang konsep perubahan wujud zat, guru tidak cukup hanya menyampaikan teorinya saja. Guru bisa mengajak siswa berekperimen dengan alat dan bahan yang mendukung seperti guru membawa es batu ke kelas dan murid diminta mengamati bagaimana es perlahan mencair saat dibiarkan di meja. Siswa bisa melihat sendiri bagaimana perubahan wujud itu terjadi pada suatu benda. Dari pengalaman langsung itu, pemahaman mereka menjadi lebih hidup dan bermakna.
Metode yang tepat tidak hanya membuat murid lebih mudah memahami, tetapi juga menumbuhkan rasa ingin tahu. Siswa merasa belajar belajar bukan sekedar menghafal, melainkan menemukan sendiri kebenarannya. Inilah inti pendidikan yang sejadi, bukan menjejalkan informasi, tetapi menuntun siswa agar mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Dalam hal ini, guru berperan sebagai desainer pembelajaran. Guru memilih jalan terbaik agar ilmu dapat sampai ke hati dan pikira murid. Dengan menguasai berbagai metode, guru sebenarnya sedang membuka banyak pintu menuju pengetahuan, sehingga setiap murid bisa menemukan jalannya sendiri untuk belajar dan berkembang.


4)Menjaga Validitas Ilmu
                 Ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekekolah tidak boleh hanya berlandaskan asumsi atau pendapat subjektif semata. Seorang guru bertanggung jawab memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan atau disampaikan kepada siswa telah melewati proses verifikasi, diuji kebenarannya, serta dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Dalam pandangan epistemologis, pengetahuan yang baik tidak cukup hanya terdengar masuk akal, tetapi harus memenuhi syarat yang logis, konsisten, sesuai dengan fakta, serta terbuka untuk diuji kembali kapan pun diperlukan.
Sesuai dengan pemaparan di atas, peran guru sebagai seorang menjadi sangat pendting dalam mentransfer pengetahuan kepada siswa. Guru tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, melainkan juga penjaga utuh pengetahuan. Ia melatih siswa agar tidak sekedar menerima sesuatu apa adanya, tetapi terbiasa mempertanyakan, menguji, dan membuktikan kebenaran dari setiap konsep yang dipelajarai. Proses tersebut membentuk kebiasaan siswa untuk berpikir kritis terhadap hal baru. Dengan berpikir kritis siswa mampu menghadapi dunia sekarang ini yang deras akan informasi dari berbagai sumber. Dengan demikian, kelas bukan lagi sekedar ruang untuk menghafal teori, melainkan sebagai laboraturium kecil tempat siswa belajar menemukan kebenarannya.
Sebagai contoh, dalam Pelajaran IPA saat guru menjelaskan tentang perubahan wujud benda, guru tidak cukup hanya menyampaikan bahwa “kamper akan menghilang jika dibiarkan di suhu ruangan”. Guru dapat membawa kamper dan metakkannya pada pojok ruangan, lalu meminta siswa untuk mengamati perubahan dari hari ke hari. Murid bisa mencatat berat, suhu, bentuk, dan lama waktu kamper menyublim menjadi gas. Dari percobaan sederhana itu, siswa belajar bahwa konsep ilmiah bukan sekedar kata-kata di buku, tetapi dapat diuji kebenarannya melalui pengalaman nyata.


3.Aksiologi dalam Hakikat Guru
                 Menurut Lorens Bagus (1996), “aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang nilai kegunaan ilmu pengetahuan, baik dalam aspek etika maupun estetika”. Dengan kata lain, aksiologi menekankan bahwa ilmu tidak hanya dinilai dari “apa” dan “bagaimana” sesuatu diketahui, tetapi juga dari “untuk apa” pengetahuan itu digunakan. Dalam dunia pendidikan, aksiologi menjadi fondasi penting yang menghubungkan pengetahuan dengan tujuan hidup manusia. Ia menegaskan bahwa ilmu tidak boleh berhenti pada hafalan atau sekedar Kumpulan fakta, melainkan harus memberikan manfaat nyata dalam kehidupan, baik bagi individu maupun Masyarakat. Seorang guru yang memahami dimensi aksiologi tidak hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga menanamkan nilai, membentuk karakter, serta menuntun siswa untuk menggunakan ilmunya dengan cara yang bijak.
Aksiologi dalam hakikat guru memiliki beberapa makna penting, antara lain:
1)Ilmu untuk Kebaikan Bersama
                  Guru memastikan bahwa ilmu yang diajarkan membawa manfaat, tidak menjerumuskan siswa pada keslahan, dan tidak menumbuhkan sikap egois atau merugikan orang lain. Ilmu diarahkan agar menjadi sarana membangun kehidupan yang lebih adil, damai, dan sejahtera. Sebagai contoh, Ketika membahas topik mengenai siklus air, guru tidak hanya menjelaskan proses penguapan, kondensasi, dan presipitasi. Guru juga mengaitkan materi tersebut dengan pentingnya menjaga sumber air bersih di sekitar sekolah. Guru juga bisa mengajak siswa membuat proyek kecil untuk menjaga sumber air, seperti menanam pohon di halaman sekolah. Dengan begitu, siswa bisa menyadari bahwa ilmu tentang siklus air tidak hanya pengetahuan ilmiah, tetapi juga memiliki nilai paktis untuk kehidupan Masyarakat.


2)Membentuk Manusia Berkarakter
                Aksiologi mengingatkan bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari nilai akademik, tetapi juga dari terbentuknya pribadi yang memiliki karakter jujur, disiplin, bertanggung jawab, dan peduli terhadap sesame. Guru berperan sebagai pembimbing moral yang menuntun siswa  menemukan arah hidupnya. Sebagai contoh, dalam pembelajaran tentang ekosistem, guru menekankan sikap peduli lingkungan. Guru mengajak siswa untuk mengamati kebersihan lingkungan kelas atau sekolah, kemudian mendiskusikan dampak membuang sampah sembarangan terhadap keseimbangan ekosistem. Dari kegiatan sederhana itu, siswa belajar nilai tanggung jawab, kepedulian, dan kerja sama, bukan hanya konsep rantai makanan atau jaring – jarring makanan.


3)Menghubungkan Ilmu dengan Kehidupan Nyata
              Pengetahuan menjadi bermakna Ketika dikaitkan dengan pengalaman sehari – hari. Misalnya, pelajaran IPA tentang ekosistem tidak hanya diajarkan sebatas definisi, tetapi juga mendorong siswa untuk menjaga lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, atau menghemat energi. Dengan begitu, ilmu tidak terasa asing, melainkan dekat dengan kehidupan mereka.


4)Etika dalam Penggunaan Ilmu
              Pengetahuan yang besar tanpa diiringi dengan nilai moral bisa menimbulkan dampak negative. Oleh karena itu, guru berperan menanamkan kesadaran etis dalam penggunaan ilmu, agar siswa kelak tidak hanya menjadi orang yang cerdas, tetapi juga bijaksana. Misalnya, pembahasan tentang teknologi sederhana atau sumber daya alam mengenai plastik. Di satu sisi plastic bermanfaat, tetapi di sisi lain bisa mencemari lingkungan. Guru mengajak siswa berdiskusi tentang Solusi ramah lingkungan, seperti menggunakan tas kain atau botol minum isi ulang. Dari sini, siswa belajar etika bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dipakai untuk dilindungi, bukan untuk merusak alam.

Daftar Pustaka
Bagus, L. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Ibrahim, R. (2012). Filsafat Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Noddings, N. (2012). Philosophy of Education. Boulder: Westview Press.
Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Dewey, J. (1997). Experience and Education. New York: Touchstone.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun