3)Metode sebagai Jalan Pengetahuan
Pengetahuan tidak hanya soal apa yang dipelajari, tetapi juga bagaimana cara memperolehnya. Di sinilah peran metode menjadi sangat penting. Epistemologi mengajarkan bahwa setiap ilmu lahir melalui jalan tertentu, ada yang berbasis pengalaman, ada yang bertumpu pada logika, ada pula yang diuji lewat eksperimen. Bagi seorang guru, kesadaran ini berarti bahwa mengajar tidak bisa dilakukan dengan satu cara saja. Siswa – siswa memiliki gaya belajar yang berbeda, ada yang lebih cepat memahami melalui praktik langsung, ada yang lebih nyaman dengan penjelasan logis, dan ada pula yang belajar paling efektif lewat diskusi. Guru yang memahami pentingnya metode akan lebih bijak memilih pendekatan sesuai kebutuhan siswa. Contohnya, ketika guru menjelaskan tentang konsep perubahan wujud zat, guru tidak cukup hanya menyampaikan teorinya saja. Guru bisa mengajak siswa berekperimen dengan alat dan bahan yang mendukung seperti guru membawa es batu ke kelas dan murid diminta mengamati bagaimana es perlahan mencair saat dibiarkan di meja. Siswa bisa melihat sendiri bagaimana perubahan wujud itu terjadi pada suatu benda. Dari pengalaman langsung itu, pemahaman mereka menjadi lebih hidup dan bermakna.
Metode yang tepat tidak hanya membuat murid lebih mudah memahami, tetapi juga menumbuhkan rasa ingin tahu. Siswa merasa belajar belajar bukan sekedar menghafal, melainkan menemukan sendiri kebenarannya. Inilah inti pendidikan yang sejadi, bukan menjejalkan informasi, tetapi menuntun siswa agar mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Dalam hal ini, guru berperan sebagai desainer pembelajaran. Guru memilih jalan terbaik agar ilmu dapat sampai ke hati dan pikira murid. Dengan menguasai berbagai metode, guru sebenarnya sedang membuka banyak pintu menuju pengetahuan, sehingga setiap murid bisa menemukan jalannya sendiri untuk belajar dan berkembang.
4)Menjaga Validitas Ilmu
Ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekekolah tidak boleh hanya berlandaskan asumsi atau pendapat subjektif semata. Seorang guru bertanggung jawab memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan atau disampaikan kepada siswa telah melewati proses verifikasi, diuji kebenarannya, serta dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Dalam pandangan epistemologis, pengetahuan yang baik tidak cukup hanya terdengar masuk akal, tetapi harus memenuhi syarat yang logis, konsisten, sesuai dengan fakta, serta terbuka untuk diuji kembali kapan pun diperlukan.
Sesuai dengan pemaparan di atas, peran guru sebagai seorang menjadi sangat pendting dalam mentransfer pengetahuan kepada siswa. Guru tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, melainkan juga penjaga utuh pengetahuan. Ia melatih siswa agar tidak sekedar menerima sesuatu apa adanya, tetapi terbiasa mempertanyakan, menguji, dan membuktikan kebenaran dari setiap konsep yang dipelajarai. Proses tersebut membentuk kebiasaan siswa untuk berpikir kritis terhadap hal baru. Dengan berpikir kritis siswa mampu menghadapi dunia sekarang ini yang deras akan informasi dari berbagai sumber. Dengan demikian, kelas bukan lagi sekedar ruang untuk menghafal teori, melainkan sebagai laboraturium kecil tempat siswa belajar menemukan kebenarannya.
Sebagai contoh, dalam Pelajaran IPA saat guru menjelaskan tentang perubahan wujud benda, guru tidak cukup hanya menyampaikan bahwa “kamper akan menghilang jika dibiarkan di suhu ruangan”. Guru dapat membawa kamper dan metakkannya pada pojok ruangan, lalu meminta siswa untuk mengamati perubahan dari hari ke hari. Murid bisa mencatat berat, suhu, bentuk, dan lama waktu kamper menyublim menjadi gas. Dari percobaan sederhana itu, siswa belajar bahwa konsep ilmiah bukan sekedar kata-kata di buku, tetapi dapat diuji kebenarannya melalui pengalaman nyata.
3.Aksiologi dalam Hakikat Guru
Menurut Lorens Bagus (1996), “aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang nilai kegunaan ilmu pengetahuan, baik dalam aspek etika maupun estetika”. Dengan kata lain, aksiologi menekankan bahwa ilmu tidak hanya dinilai dari “apa” dan “bagaimana” sesuatu diketahui, tetapi juga dari “untuk apa” pengetahuan itu digunakan. Dalam dunia pendidikan, aksiologi menjadi fondasi penting yang menghubungkan pengetahuan dengan tujuan hidup manusia. Ia menegaskan bahwa ilmu tidak boleh berhenti pada hafalan atau sekedar Kumpulan fakta, melainkan harus memberikan manfaat nyata dalam kehidupan, baik bagi individu maupun Masyarakat. Seorang guru yang memahami dimensi aksiologi tidak hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga menanamkan nilai, membentuk karakter, serta menuntun siswa untuk menggunakan ilmunya dengan cara yang bijak.
Aksiologi dalam hakikat guru memiliki beberapa makna penting, antara lain:
1)Ilmu untuk Kebaikan Bersama
Guru memastikan bahwa ilmu yang diajarkan membawa manfaat, tidak menjerumuskan siswa pada keslahan, dan tidak menumbuhkan sikap egois atau merugikan orang lain. Ilmu diarahkan agar menjadi sarana membangun kehidupan yang lebih adil, damai, dan sejahtera. Sebagai contoh, Ketika membahas topik mengenai siklus air, guru tidak hanya menjelaskan proses penguapan, kondensasi, dan presipitasi. Guru juga mengaitkan materi tersebut dengan pentingnya menjaga sumber air bersih di sekitar sekolah. Guru juga bisa mengajak siswa membuat proyek kecil untuk menjaga sumber air, seperti menanam pohon di halaman sekolah. Dengan begitu, siswa bisa menyadari bahwa ilmu tentang siklus air tidak hanya pengetahuan ilmiah, tetapi juga memiliki nilai paktis untuk kehidupan Masyarakat.
2)Membentuk Manusia Berkarakter
Aksiologi mengingatkan bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari nilai akademik, tetapi juga dari terbentuknya pribadi yang memiliki karakter jujur, disiplin, bertanggung jawab, dan peduli terhadap sesame. Guru berperan sebagai pembimbing moral yang menuntun siswa menemukan arah hidupnya. Sebagai contoh, dalam pembelajaran tentang ekosistem, guru menekankan sikap peduli lingkungan. Guru mengajak siswa untuk mengamati kebersihan lingkungan kelas atau sekolah, kemudian mendiskusikan dampak membuang sampah sembarangan terhadap keseimbangan ekosistem. Dari kegiatan sederhana itu, siswa belajar nilai tanggung jawab, kepedulian, dan kerja sama, bukan hanya konsep rantai makanan atau jaring – jarring makanan.
3)Menghubungkan Ilmu dengan Kehidupan Nyata
Pengetahuan menjadi bermakna Ketika dikaitkan dengan pengalaman sehari – hari. Misalnya, pelajaran IPA tentang ekosistem tidak hanya diajarkan sebatas definisi, tetapi juga mendorong siswa untuk menjaga lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, atau menghemat energi. Dengan begitu, ilmu tidak terasa asing, melainkan dekat dengan kehidupan mereka.
4)Etika dalam Penggunaan Ilmu
Pengetahuan yang besar tanpa diiringi dengan nilai moral bisa menimbulkan dampak negative. Oleh karena itu, guru berperan menanamkan kesadaran etis dalam penggunaan ilmu, agar siswa kelak tidak hanya menjadi orang yang cerdas, tetapi juga bijaksana. Misalnya, pembahasan tentang teknologi sederhana atau sumber daya alam mengenai plastik. Di satu sisi plastic bermanfaat, tetapi di sisi lain bisa mencemari lingkungan. Guru mengajak siswa berdiskusi tentang Solusi ramah lingkungan, seperti menggunakan tas kain atau botol minum isi ulang. Dari sini, siswa belajar etika bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dipakai untuk dilindungi, bukan untuk merusak alam.Daftar Pustaka
Bagus, L. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Ibrahim, R. (2012). Filsafat Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Noddings, N. (2012). Philosophy of Education. Boulder: Westview Press.
Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Dewey, J. (1997). Experience and Education. New York: Touchstone.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI