Mohon tunggu...
Destinhuru Hend Dhito
Destinhuru Hend Dhito Mohon Tunggu... ASN dan Penulis

Fokus pada Solusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kalau Anggota DPR Dipilih Secara Acak, Apa Mungkin?

1 September 2025   11:59 Diperbarui: 3 September 2025   18:31 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernahkah kita merasa bahwa suara kita tidak benar-benar sampai ke atas? Banyak warga biasa yang beranggapan bahwa DPR lebih mewakili segelintir orang kaya, partai, atau kelompok berpengaruh. Dalam istilah akademik, kondisi ini sering disebut oligarki, yakni ketika kekuasaan terkonsentrasi hanya pada segelintir elite. Bahkan ada pula yang menyebutnya sebagai bentuk modern dari aristokrasi, pemerintahan oleh "kaum bangsawan baru".

Di sinilah muncul sebuah gagasan lama namun kini kembali ramai dibicarakan: sortition, atau pemilihan secara acak. Seperti arisan, untuk menentukan siapa yang duduk di kursi DPR.

Mengapa acak?  Ini alasannya:

1. Kekuasaan terlalu terkonsentrasi. Kalau hanya orang yang punya modal besar, koneksi kuat, atau dukungan elite yang bisa masuk DPR, maka suara rakyat biasa akan selalu terpinggirkan.
2. Prinsip kesetaraan warga. Dengan sistem acak, setiap orang---apakah ia guru, petani, buruh, mahasiswa, atau ibu rumah tangga---memiliki peluang yang sama untuk terpilih. Inilah cerminan dari prinsip egalitarianisme yang sering dibicarakan di ruang-ruang akademik.
3. Cerminan mini dari masyarakat. DPR hasil pemilihan acak akan lebih mirip "miniatur Indonesia", lengkap dengan keberagaman kelas sosial dan profesi. Tidak lagi hanya orang-orang dengan jas mahal.
4. Mencegah dominasi kepentingan sempit. Sistem acak dapat menjadi rem agar keputusan lebih berpihak pada semua, bukan segelintir.
5. Memberi kesempatan pada yang paling rentan. Warga miskin, yang tidak punya koneksi, yang selama ini tak pernah masuk radar kekuasaan, bisa benar-benar ikut menentukan arah negeri.

Apakah tidak berbahaya?

Orang tentu bertanya: kalau yang terpilih orang biasa, apa bisa memimpin?
Jawabannya: bisa. Karena yang dibutuhkan di parlemen bukan retorika, tapi representasi. Rakyat butuh orang yang benar-benar merasakan harga beras, antrean rumah sakit, atau sulitnya mencari kerja. Soal teknis? Bisa dibantu oleh pakar, staf, dan birokrat yang memang bertugas menyediakan data.

Refleksi sederhana

Demokrasi tidak boleh hanya dimiliki oleh mereka yang pandai bernegosiasi di ruang partai. Demokrasi seharusnya kembali pada makna asalnya: demos kratos, kekuasaan rakyat. Dengan sistem acak, kita diingatkan bahwa kekuasaan bukan monopoli segelintir, melainkan hak semua warga.

Tambahan penting:
Memilih DPR dari warga secara acak ini bukan hanya praktik kuno dari Athena di zaman Yunani. Di era modern, beberapa negara sudah mencobanya. Irlandia membentuk Citizens' Assembly untuk membahas isu-isu besar. Prancis pernah membuat Convention Citoyenne pour le Climat dengan ratusan warga yang dipilih acak. Belgia, bahkan, punya dewan warga tetap di wilayah Ostbelgien yang ikut memberi rekomendasi kebijakan.

Artinya, dunia sudah mulai berani bereksperimen. Jadi, kalau negara lain bisa, mengapa kita tidak setidaknya membayangkan, dan mungkin suatu hari, mencobanya.

Tulisan dan riset dengan kerjasama AI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun