Selain itu, cuaca malam yang tidak menentu juga menjadi tantangan tersendiri. "Kalau hujan, ya bisa nggak laku. Pernah juga gerobaknya hampir jatuh karena jalan licin," tambahnya sambil tertawa kecil. Tapi semua itu justru jadi bagian dari cerita perjuangannya.
Ian, pria berusia 27 tahun, adalah sosok yang ramah dan gigih. Ia selalu menyapa pelanggannya dengan senyum tulus dan sesekali melontarkan candaan. Ia sangat memperhatikan kualitas baksonya, mulai dari pemilihan daging hingga proses pembuatan yang ia lakukan sendiri setiap pagi. Meskipun tidak memiliki rambut kribo, semangatnya yang "mengembang" dan inovatif dalam menciptakan bakso dengan tekstur unik itulah yang akhirnya melahirkan nama "Kribo" untuk usahanya. "Saya ingin bakso saya punya ciri khas, sesuatu yang beda dari yang lain. Makanya saya sebut 'Kribo' karena teksturnya yang nggak biasa," jelas Ian sambil menunjukkan bakso tusuknya.
Ian lahir dan besar di Sleman, lulusan SMK jurusan teknik mesin, namun lebih memilih dunia usaha karena merasa lebih bebas. "Saya memang bukan dari keluarga berada. Tapi saya yakin, asal kerja keras, bisa hidup cukup dari jalan sendiri," ujarnya.
Ia kini tinggal bersama ibunya di rumah kontrakan kecil. Setiap malam berjualan, ia menyisihkan sebagian hasilnya untuk biaya hidup dan tabungan. Mimpinya sederhana: ingin punya dua gerobak agar adiknya bisa ikut berjualan. "Saya pengin ini jadi usaha keluarga. Sederhana tapi jalan terus," katanya.
Cerita Pelanggan di Bawah Lampu Kota
Di tengah percakapan, datang seorang mahasiswa yang langsung menyapa Ian dengan akrab. "Mas Ian, kayak biasa, lima tusuk campur ya," ucapnya sambil duduk di trotoar. Ian langsung menyiapkan pesanan sambil berbincang. Momen itu seperti lukisan khas kota malam Jogja: hangat, akrab, sederhana.
Ian bercerita tentang pelanggan-pelanggan yang unik. "Ada anak kecil yang dulu pertama beli satu tusuk tiap malam, sekarang kalau datang pasti minimal sepuluh. Ada juga yang nungguni saya dari jam tujuh malam cuma karena kangen baksonya," katanya sambil tersenyum bangga.
"Buat saya, jualan malam itu bukan sekadar cari uang. Ini cara saya bertahan hidup, dan cara saya terhubung dengan orang-orang di kota ini. Selama lampu jalan masih menyala, selama itu juga saya akan terus berjualan," tutup Ian sebelum kembali menghidupkan motornya dan melanjutkan perjalanan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI