Sebagai rahim kehidupan, penderitaan melahirkan hasil. Jika manis, kebahagiaan yang didapat. Jika pahit, kesedihan yang datang. Dalam perjalanannya, suka dan duka menjalani laku tapa yang berat.
Di sinilah dua insan bersatu dalam kasih. Di tempat ini pula, mereka membersihkan diri setelah bertarung melawan musuh-musuhnya. Di pertapaan ini, suka mempersembahkan pengorbanannya, sementara duka merelakan egonya. Di sini, suka dan duka menyatu. Daki gunung suci ini, niscaya kemapanan akan menaungimu.
Sebagai artefak kuno, hilangnya penderitaan membuat sepasang saudara kembar ini terkenal. Menyiksa diri bukanlah cara yang bijak untuk belajar. Hanya dengan ketekunan, keheningan dapat diraih.
Berhentilah melempar batu lalu bersembunyi. Bersusah payah lebih dulu, bersenang-senang kemudian. Dengan kata lain, kesulitan adalah kebahagiaan yang tertunda, dan kebahagiaan adalah kesulitan yang menunggu giliran. Begitu pula dengan suka dan duka. Keduanya hanyalah reaksi pikiran yang memengaruhi tubuh---bisa positif, bisa negatif. Positif jika pikiran dan tubuh selaras; jika pikiran baik, tubuh menerimanya. Sebaliknya, menjadi negatif jika pikiran dan tubuh bertentangan; saat pikiran baik, tubuh justru menolaknya.
Mengakui suka dan duka sebagai bagian dari kehidupan berarti merendahkan diri dan berserah. Tanpa itu, segala pekerjaan hanya menjadi kesia-siaan. Tak perlu menahannya, apalagi melawannya. Biarkan ia mengalir. Mantranya sederhana: "Silakan lewat." Sebab suka bisa berubah menjadi duka dalam sekejap, begitu pula sebaliknya. Semakin cepat dilepaskan, semakin cepat lenyap.
Dengan memahami ini, suka dan duka menjadi berkah sekaligus keterampilan. Berkahnya terletak pada ketekunan, keterampilannya terwujud dalam kemampuan untuk menghibur. Itulah bagaimana suka dan duka berperan sebagai instrumen kehidupan.
Di tempat kotor, suka dan duka dengan jujur mengungkap keluhan. Namun, di tempat bersih, sering kali ia berpura-pura. Sebab, di tempat kotor rezeki sulit didapat, sedangkan di tempat bersih, uang mengalir deras. Sekadar bercanda maksudnya, agar kelalaian tidak terlihat jelas di mata publik. Harapannya sederhana: agar kebahagiaan yang lalai tidak berujung pada penderitaan.
Karena itu, suka dan duka diracik dengan cermat. Mereka tumbuh, belajar, dan bertarung. Tumbuh sebagai pemimpin yang dikelilingi prajurit pemberani. Belajar untuk menguasai kebijaksanaan. Bertarung untuk menghancurkan musuh-musuhnya.
Bukan karena suka dan duka mampu bertahan sendiri, melainkan karena editor kehidupannya pandai menafsirkan fenomena dan fakta sosial. Instrumennya diciptakan untuk membebaskan diri dari penderitaan.
Suka dan duka tidak butuh waktu lama untuk menjadi bagian dari kehidupan. Bukan karena sombong atau bodoh, tetapi karena keduanya telah melekat dalam diri sejak lama. Suka dan duka adalah tradisi yang melekat pada diri manusia. Diri adalah subjeknya. Ia disebut tradisi karena suka dan duka mengandung candu. Ia disebut subjek karena manusia adalah aktor utamanya.