Langkah yang Menyentuh Jiwa, Empat Penjaga Sejarah
Pagi itu saya melangkah pelan di pelataran Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Sinar matahari menyinari batu-batu yang diam. Tidak ada keramaian wisatawan.Â
Hanya saya, langkah yang tak tergesa, dan empat artefak yang berdiri membisu: dua Ganesha, satu Singa, dan sebuah Meriam. Benda-benda tua itu bukan sekadar koleksi---mereka adalah penjaga sejarah yang pernah bergetar dalam tubuh negeri ini.
Saya tidak datang hanya  sebagai turis. Saya datang sebagai penziarah. Ingin menyapa masa lalu, menautkan luka dan harapan, serta mendengar kembali suara-suara yang nyaris hilang dari narasi bangsa.
Ganesha Utuh: Cahaya Sriwijaya yang Melembutkan Kuasa
Arca pertama saya temui berdiri utuh. Ganesha duduk dengan belalai menyentuh mangkuk modaka. Ia bukan hanya dewa penghalau rintangan, tapi pengayom ilmu, pelindung para pelajar, dan simbol welas asih dalam kekuasaan Sriwijaya.
Arca ini berasal dari kawasan Bukit Siguntang---pusat spiritual dan pendidikan pada masa kejayaan Sriwijaya.Â
Dipindahkan ke museum sekitar awal 1980-an sebagai upaya pelestarian, ia kini berdiri di pelataran, menyapa siapa pun yang ingin belajar dan bertanya.
Saya berdiri menghadapnya, dan seolah ia berkata: "Kemajuan tanpa ilmu adalah kegaduhan; kekuasaan tanpa kebijaksanaan adalah kehampaan."
Ganesha Sketsa: Sejarah yang Terhenti di Talang Tuho
Arca kedua memancarkan sunyi yang lain. Ganesha ini belum selesai. Wajah belum dipahat, tubuh belum utuh. Ia seperti naskah yang ditinggalkan di tengah kalimat.