Ditemukan di Talang Tuho, tempat yang disebut dalam Prasasti Kedukan Bukit sebagai lokasi awal Sriwijaya berdiri, arca ini kemungkinan adalah bagian dari proyek spiritual yang terhenti.Â
Invasi, perubahan politik, atau kehancuran peradaban mungkin menghapus rencana itu. Ia dipindahkan ke museum sekitar tahun 1984, bersama sejumlah koleksi Sriwijaya lainnya.
Melihatnya, saya seperti melihat potret bangsa yang narasinya belum selesai. Saya bertanya dalam hati: "Apa yang belum sempat kita tulis sebagai bangsa?"
Singa Tanpa Kepala: Penjaga Dharma yang Terluka
Arca ketiga adalah Singa, namun kepalanya hilang. Ia berdiri tegak, kaku, namun tak lagi utuh. Dalam tradisi Hindu-Buddha, Singa adalah pelindung dharma. Ia ditempatkan di gerbang candi, pintu kerajaan, atau pusat-pusat spiritual sebagai simbol keberanian dan kewaspadaan.
Singa ini ditemukan di sekitar Benteng Kuto Besak---pusat pertahanan Kesultanan Palembang.Â
Arca ini dipindahkan setelah benteng dan kota dirusak oleh kolonial Inggris pada 1823. Kepalanya mungkin hilang dalam perang atau penjarahan. Kini ia menjadi bagian dari koleksi tetap museum.
Saya menatapnya, dan dalam sunyi saya mendengar: "Keberanian tidak selalu utuh. Kadang ia berdiri dengan luka, tapi tetap menjaga."
Meriam Sunyi: Senjata yang Menjadi Saksi Kedaulatan
Di sudut pelataran, sebuah meriam tua berdiri membisu. Besi cor berwarna gelap, kokoh namun tidak lagi mengancam. Ia adalah bagian dari sistem pertahanan Kesultanan Palembang, kemungkinan berasal dari Benteng Kuto Besak atau reruntuhan istana Kuta Lama yang dihancurkan oleh Inggris.
Meriam ini bukan lagi senjata. Ia menjadi saksi. Saksi atas perlawanan lokal, atas kehancuran istana, dan atas transisi kota dari pusat kuasa ke kota kolonial.Â