Mohon tunggu...
Dewi Kurniasari
Dewi Kurniasari Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pembelajar sejati : suka belajar dan berbagi agar senantiasa bertumbuh dan bermakna. Learning - Sharing - Growing - Meaning

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Apa dengan Winda?

28 Mei 2015   11:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:31 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ranti tak habis pikir, kok ada ya orang seperti itu? Berulang kali mengumbar janji, berulang kali pula mengingkari. Memberikan harapan lalu mengecewakan, bahkan pada orang yang telah menolongnya. Kata-katanya tak lain hanyalah dusta, dan tak jarang dengan membawa serta nama Tuhan. Astaghfirullah .... koq tak ada rasa bersalah atas apa yang dilakukannya. Tak apalah kalau tak menganggapku sebagai insan, tapi masih adakah rasa takut kepada sang Pencipta?, tak henti batinnya terus bertanya. Ranti sungguh prihatin memikili teman seperti Winda, dan bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Winda?

Berawal dari ajakan berteman di jejaring sosial, Ranti terhubung dengan Winda. Ternyata mereka satu almamater waktu SMP. Walau mereka belum pernah sekelas dan Ranti merasa belum pernah bertemu dengan Winda, namun obrolan mereka nyambung. Apalagi ternyata Winda sahabat Ririn, yang tak lain adik bungsu dari ibu Ranti.

Baru beberapa minggu terhubung, mamih Winda dirawat di rumah sakit, bahkan sampai menjalani operasi karena ada gangguan di empedunya. Saat akan pulang dari rumah sakit, Winda sms Ranti kalau mamih tak bisa pulang karena ada kekurangan pembayaran rumah sakit. Jika ada, pinjam dulu sambil nunggu dari asuransi cair.

Ranti bukan orang kaya, atau berlebih secara materi. Namun karena ia sudah menganggap Winda sebagai saudara, hatinya tergerak untuk menolong. Apalagi ini untuk mamih Winda, bagaimana jika hal tersebut menimpa ibunya sendiri. Tanpa berpikir panjang Ranti bertanya berapa jumlah uang yang diperlukan. Winda menyebut angka 4,5 juta. Ranti tak punya uang sebanyak itu. Ia bilang pada Winda, hanya ada uang kuliah anaknya yang harus dibayarkan minggu depan. Winda bilang sebentar saja, begitu asuransi cair langsung diganti. Ia menyebut nama lembaga asuransi terbesar, dan menjanjikan di akhir minggu akan dikembalikan.

Ranti sempat ragu, mengingat besar juga jumlah yang akan dipinjam. Namun dengan pertimbangan Winda bekerja di sebuah bank swasta, lalu ada jaminan dari asuransi ternama, dengan mengucap basmallah siang itu juga ia transfer uangnya. Apalagi Ranti sendiri sering mendapat bantuan dari teman-temannya, mungkin ini saatnya ia membantu orang lain yang tengah kesusahan. Jika kita sedang berlebih menolong, itu sudah biasa. Namun jika kita sendiri sedang sulit dan mau menolong, tentu akan membawa kebahagiaan tersendiri. Itulah harapannya.

Ketika tiba waktu yang sudah disepakati, Winda minta waktu dengan alasan dari asuransi belum cair. Ranti mulai curiga, karena lembaga asuransi yang besar tak mungkin terlambat seperti itu. Setelah beberapa kali ditagih, 2 minggu kemudian Winda transfer 2,7 juta dengan permintaan waktu 2 x 24 jam untuk melunasi sisanya. Ini membuat uang kuliah anaknya terhambat dan terpaksa harus membayar dengan cara mencicil.


Setelah itu berbagai alasan dikemukakan Winda, dengan janji yang tak pernah ia tepati. Winda bilang “Aku berani pinjam karena ada untuk membayarnya”, tapi tak pernah terbukti. Suatu saat dia bilang “Aku transfer hari ini”, juga tak dilakukannya. Saat ditanya transfer jam berapa? Winda tak menjawab.

Pernah Ranti bilang, “Maaf Win aku belum bisa mengikhlaskan buat kamu karena aku juga masih perlu”. Winda bilang “Tidak boleh diikhlaskan Ti, karena aku masih mampu kerja”. Sayangnya, kata-kata itu hanya di bibir saja. Pernah juga Ranti minta dicicil saja 3 atau 4 kali, seadanya dulu... Winda menyetujui, “Iya, minggu ini aku transfer. Tunggu aja nanti aku kabari”. Namun betapa kecewanya Ranti karena itu juga tak terbukti.

Di lain waktu, saking kesalnya Ranti bilang, “Win aku bukan pengemis, tapi meminta hakku kembali”. Winda menjawab “Memang aku janji minggu ini Ti“, tapi tak juga ia penuhi janjinya. Dalam suatu kesempatan, Ranti sms Winda, “Baru pulang dari pemakaman teman, jadi tak tega nagih-nagih terus sama Winda, hanya buat dosa karena janji-janji tak ditepati. Sekarang tak usah nunggu terkumpul, transfer seadanya saja dulu, buktikan niat baik mau bayar. Insya Allah nanti dikasih keringanan kalau sudah beberapa kali nyicil. Kalau tidak, akan jadi hutang sampai mati”. Tak ada respon ....

Malamnya Ranti sms lagi, “Mulai lagi Winda abaikan sms aku ... apa salahku? Aku menganggapmu saudara, berusaha menolong walau aku juga dalam kesulitan. Inikan balasannya?”

Agak lama baru Winda menjawab, “Subhanallah Ti, niatku melunasi semua pengen secepatnya kelar ... gak ada niat mengabaikan”.

“Ok, transfer aja seadanya dulu, aku lagi perlu banget. Jangan hanya ngomong doang mau diprioritaskan. Atau mungkin selama ini aku salah menganggapmu saudara”, selanjutnya tak ada jawaban, apalagi transferan ... Hatinya tak tergerak untuk menyelesaikan masalah secara baik-baik. Sepertinya hati Winda sudah membatu...

Dua bulan pertama Winda masih suka minta maaf jika tak bisa menepati janji, namun dua bulan berikutnya seperti angin saja. Beberapa kali Winda tak menanggapi sms atau WA dari Ranti. Kebetulan mereka tinggal di kota yang berbeda. Ranti tahu rumah mamih Winda dari Ririn, dan berniat minta tolong mamihnya untuk mengingatkan Winda agar segera melakukan kewajibannya. Sudah tiga kali Ranti ke rumah orang tua Winda tapi tak jadi masuk karena takut mamihnya kaget dan sakit lagi. Saat hal itu disampaikan ke Winda, dia menjawab, “Iya Ti, ini aku prioritaskan bayar, tunggu ya nanti langsung kukabari”. Sebulan berlalu tak juga terjadi. Ranti jadi bertanya-tanya, apakah memang kehidupan Winda begitu sulit, atau gaya hidupnya yang membuat ia tak bisa mengembalikan pinjaman.

Kadang Ranti begitu marah karena merasa dipermainkan oleh Winda, tapi hatinya luruh saat mengingat kesulitan yang mungkin dialami Winda yang hidup sebagai single parents dengan tiga anak. Sikap Winda membuatnya bingung apakah ia harus berusaha maksimal untuk mendapatkan kembali sisa pinjaman, atau mengikhlaskannya saja agar pikiran dan perasaannya lebih tenang.

Ranti pernah mengikhlaskan uang sebesar 3 juta, karena peminjam saat itu benar-benar memerlukan dan bilang ia hanya bisa menggantinya dengan cara mencicil. Ranti malah tak tega, dan memutuskan untuk melunaskannya saja. Ingin Ranti melakukan hal itu juga pada Winda, namun saat itu Ranti sedang dalam kesulitan keuangan. Betapa besar nilai 1,8 juta untuk keperluan sehari-hari agar anak-anaknya tak perlu ikut prihatin. Apalagi Winda sesumbar bisa menggantinya walau, tak pernah terbukti.

Akhirnya Ranti minta pendapat Ririn, tantenya. Ia begitu kaget mendengar penjelasan Ririn, kalau Winda memang memiliki kebiasaan meminjam ke sana-sini tanpa berusaha untuk mengembalikan. Ririn menyarankan untuk minta bantuan orang ketiga dalam menyelesaikan masalah itu. Ririn juga menghubungi Winda dan mengingatkan, katanya akan ditransfer minggu ini. Bahkan sempat minta nomor rekening lagi, tapi tetap saja tak dia lakukan.

Ranti jadi teringat, bahwa Winda pernah mengatakan memiliki kakak sepupu yang bekerja di perusahaan yang sama dengan tempat Ranti bekerja. Ranti mendatangi kakak sepupunya tersebut, dan mendapat sambutan yang baik. Namun kakaknya tersebut dengan tegas mengatakan tidak bisa membantu karena memang hubungan mereka tidak terlalu dekat. Yang membuat Ranti sedih, kakaknya itu mengatakan bahwa tak ada masalah dengan biaya rumah sakit. Berarti Winda memanfaatkan situasi untuk mengelabui Ranti .... tega-teganya ia menjual nama mamihnya sendiri.

Ranti mulai merenungkan semuanya, apakah ia memang bodoh telah terperdaya seperti apa kata Ririn dan teman-teman yang ia mintai pendapat. Apakah salah membantu orang lain saat ia sendiri juga dalam kesulitan? Ranti hanya merasa, semua itu sudah ada dalam pengaturan-Nya. Pasti ada hikmah dari semuanya, bahwa ia harus lebih berhati-hati dan tidak mudah percaya pada orang lain. Hikmah lain, bahwa rejeki itu sungguh di luar kewenangan manusia, tapi sudah ada dalam ketetapan-Nya.

Karena Ranti sendiri sedang membutuhkan uang untuk keperluan anak-anaknya, kembali ia terjebak dalam dilema, mengikhlaskan saja untuk Winda atau terus berusaha maksimal mendapatkan kembali haknya? Sebenarnrya ia sudah mendapatkan jawaban dalam Al Qur’an, surat Al Baqarah ayat 280 yang berbunyi “Dan jika orang berhutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. Ranti percaya sepenuhnya pada ayat itu, dan mulai mempertimbangkan untuk menyedekahkannya saja. Namun saat ia sampaikan ayat itu pada Winda, ia tak meresponnya sama sekali.

Ah, ada apa sebenarnya dengan Winda? Mengapa ia bersikap seperti itu? Mengapa ia tega memanfaatkan situasi mamihnya dan memperlakukan Ranti seperti itu? Mengapa tak ada rasa bersalah dan rasa malu atas semua yang telah diperbuatnya, atas semua perkataan kosongnya?

Ingin rasanya Ranti melihat niat baik Winda untuk menyelesaikan masalah utang piutang ini dengan cara yang baik sebagai saudara, karena masalah yang satu ini tidak bisa dianggap enteng. Jika tak selesai saat umur kita habis, akan membebani dan menghalangi jalan pulang. Ya Rabb yang Maha Membolak-balikkan hati, berilah petunjuk untuk kami dan lembutkanlah hati kami. Aamiin yra ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun