Harus antre ID card acara, rebutan kursi dengan wartawan ibukota, bahkan kadang ditatap sebelah mata. Saya masih ingat waktu liputan Presiden SBY di pabrik Toyota Karawang belasan tahun lalu. Datang sesuai instruksi, tapi ID card yang saya dapat malah bertuliskan "Security".Â
Awalnya bete, merasa diremehkan. Tapi setelah dipikir-pikir, "security" itu justru punya akses ke mana-mana. Jadi meski salah cetak, saya bisa bebas mondar-mandir, bahkan lebih leluasa daripada reporter dari Jakarta.
Itulah sisi satir dari liputan pagi: ribet, melelahkan, tapi selalu ada cerita seru di baliknya.
Laptop dan Deadline
Senjata utama seorang freelance writer? Bukan bedak, bukan serum, tapi laptop. Mesin inilah yang selalu jadi saksi bisu curhatan deadline.
Bayangkan, sambil liputan saya harus motret, nyatet, lalu buru-buru buka laptop biar naskah tidak basi. Strategi saya sederhana: begitu bahan liputan pagi sudah lengkap, langsung tulis draft, simpan foto, lalu kirim via email dengan mode terjadwal. Jadi sore bisa agak santai, karena malamnya sudah tahu bakal chaos lagi.
Kadang laptop panas, kepala juga panas. Tapi demi cuan dan eksistensi di dunia media online, semua tetap dikerjakan. Karena kalau berhenti, siapa lagi yang akan menulis cerita-cerita kecil dari daerah?
Antara Liputan dan Anak
Ini bagian yang bikin dilema. Ada saat liputan bentrok dengan jadwal anak sekolah. Misalnya ada acara P5 di sekolah, sementara saya harus liputan. Triknya: saya biasanya hadir sebentar di awal atau akhir acara, lalu tancap gas ke lokasi liputan.
Yang paling sering bikin drama adalah makan siang. Anak SD saya tidak ikut katering sekolah, dan ironisnya juga tidak kebagian jatah MBG (Makan Bergizi Gratis). Jadi kalau saya lagi liputan, solusinya pesan makanan online. Pernah anak protes, "Kenapa teman-teman bawa bekal dari rumah, aku malah dibeliin?"
Sebagai ibu, saya merasa bersalah. Tapi sebagai penulis, saya tahu kalau tidak liputan, artinya tidak ada cuan. Kadang saya merasa kayak pejabat penting di rumah: anak-anak nungguin tanda tangan buku penghubung sekolah, seakan-akan itu dokumen resmi negara.
Menjadi freelance writer memang jauh dari glamor. Tapi dari liputan lapangan, laptop panas, hingga drama anak sekolah, semua itu justru memberi warna. Ada rasa syukur bisa tetap dekat dengan keluarga, meski kadang harus nyelip di antara agenda liputan.
Kadang anak saya ikut liputan, sekadar lihat bagaimana ibunya bekerja. Dari situ saya sadar, semua ibu punya panggung masing-masing: ada yang di dapur, ada yang di kantor, ada juga yang di lapangan liputan. Yang penting, kita semua sedang berjuang di jalan yang sama: ingin anak-anak bahagia.(*)