Pernah nggak sih bingung harus jadi supermom sekaligus wartawan kilat? Nah, itulah hidup saya setiap pagi. Alarm belum sempat bunyi, sudah ada suara protes: "Mbu, aku udah bangun!"Â
Anak SMP masuk jam 6.30, anak kelas 6 SD masih meringkuk padahal ini hari buah. Untung Abah kemarin belikan melon, jadi masih ada harapan anak-anak nggak jadi bahan teguran wali kelas.
Laptop di meja kerja sudah menyala, padahal jari-jari belum ngetik sepatah kata pun. Ironis, kemarin malah dipuji karena artikel di lembangnews.com dapat banyak view. Tapi pagi ini, jangankan nulis, menemukan catokan kuku saja buat anak SD bikin mood dia bubar.Â
Sambil ngulet, saya mikir: liputan pagi belum siap, anak sekolah belum beres, kok hidup rasanya kayak lomba triathlon tanpa sponsor.
Rutinitas Pagi Sebelum Liputan
Bayangkan saya harus siapkan anak sebelum diantar anak SMP oleh Abah jam 6.30, lalu tarik-tarik selimut adiknya yang kelas 6 SD.Â
Belum lagi grup WA wali murid rame soal hari buah. Kalau reporter ibukota sibuk ngejar pejabat penting, saya sibuk ngejar mulut anak-anak biar mau sarapan sehat.
Bekal sekolah sudah siap---kadang nasi kepal, kadang roti isi seadanya---asal jangan cuma gorengan, takut dikritik Bu Guru. Sementara di kalender, sudah ada jadwal liputan pagi dengan menteri yang kebetulan mampir ke sekolah di kecamatan sebelah. Acara dimulai pukul 07.00. Hadeuh....Â
Suami? Jangan harap bisa bantu. Dia juga harus giliran antar anak sekolah ke tempat lain dan jaga-jaga kerja dadakan.Â
Jadi kalau ada yang tanya kenapa wartawan daerah sering datang ngos-ngosan, jawabannya simpel: sebelum ketemu pejabat penting, saya duluan berhadapan dengan drama anak sekolah.
Tantangan Liputan Pagi
Liputan lapangan itu nggak selalu glamor. Kalau hanya level daerah, biasanya santai: datang jam 10, foto, wawancara, pulang. Tapi kalau ada pejabat penting kayak menteri atau presiden, suasananya berubah jadi konser Coldplay.