Mohon tunggu...
Dewi Tri Lestari
Dewi Tri Lestari Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pribadi yang tidak akan letih untuk belajar dan mencoba

Selanjutnya

Tutup

Politik

Imajinasi yang Resah: Marshall Berman dan Demo Agustus 2025

14 September 2025   16:59 Diperbarui: 14 September 2025   17:33 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situasi garis depan massa aksi di Mako Brimob Kwitang, Jakarta, Sabtu (30/08/2025). Sumber: kontras_update

Gelombang demonstrasi yang melanda Indonesia sepanjang akhir Agustus 2025 bukanlah sekadar reaksi spontan atas kenaikan tunjangan DPR. Lebih dari itu, aksi yang dimulai pada 25 Agustus 2025 dengan tajuk "Bubarkan DPR" dan diikuti oleh berbagai kalangan mulai dari perorangan, pelajar, pedagang, ojek online, hingga mahasiswa merupakan manifestasi dari apa yang Marshall Berman sebut sebagai kekuatan "little men" dalam karya monumentalnya "All That is Solid Melts into Air". Demonstrasi ini mengingatkan kita bahwa kekuatan politik kadang lahir dari mereka yang paling rapuh, dan politik sejati bukan monopoli penguasa melainkan hak fundamental rakyat yang berani berkata tidak.

Para demonstran yang turun ke jalan pada Agustus 2025 bukanlah tokoh-tokoh besar bersejarah seperti Tsar, jenderal, atau pahlawan berpedang yang kerap menghiasi buku sejarah. Ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa, pengemudi ojek online (ojol), dan elemen masyarakat ini adalah representasi nyata dari "little men" yang digambarkan Berman---orang-orang biasa yang hidup dalam keterbatasan namun memiliki imajinasi politik yang kuat. Mereka adalah mahasiswa yang terhimpit biaya kuliah mahal, pengemudi ojek online yang berjuang di tengah regulasi yang tidak pasti, buruh yang upahnya tak kunjung naik, dan pegawai kecil yang menyaksikan elite politik menikmati fasilitas mewah sementara rakyat menanggung beban ekonomi.

Kehidupan sehari-hari mereka terbatas dalam ruang sempit kosan, rutinitas kerja yang melelahkan, dan tatapan sinis dari pejabat yang merasa lebih tinggi derajatnya. Namun di balik keseharian yang monoton itu, terdapat imajinasi yang gelisah tentang Indonesia yang lebih adil---tentang hak untuk berdiri tegak di jalan-jalan yang dibangun dari pajak dan keringat mereka sendiri. Inilah yang Berman maksud ketika menggambarkan bagaimana modernitas menciptakan ruang bagi "little men" untuk bangkit dari bayang-bayang dan menjadi aktor politik yang sesungguhnya.

Apa yang awalnya tampak sebagai protes terhadap kenaikan tunjangan DPR, kini meluas menjadi gerakan dengan tuntutan yang beragam: pembubaran DPR, pengesahan UU perampasan aset, hingga pengawalan keputusan Mahkamah Konstitusi. Ekspansi tuntutan ini bukan menunjukkan ketidakjelasan arah gerakan, melainkan cermin dari keresahan yang mendalam terhadap sistem politik yang dianggap tidak responsif. Para "little men" ini memahami bahwa masalah mereka bukan hanya soal tunjangan DPR, tetapi tentang keseluruhan struktur kekuasaan yang mengabaikan aspirasi rakyat.

Fenomena ini bukanlah eksklusif Indonesia. Dalam perspektif global, kita menyaksikan kebangkitan serupa di Lagos, New Delhi, Mexico City, dan kota-kota besar dunia lainnya. "Little men" di berbagai belahan dunia menghadapi tantangan serupa: urbanisasi yang tidak merata, kesenjangan ekonomi yang menganga, dan elite politik yang terasing dari realitas rakyat. Mereka kadang terjerumus dalam alienasi, bahkan putus asa menghadapi sistem yang tampak tak berubah. Namun justru dari titik keputusasaan itulah kekuatan politik yang autentik sering kali muncul.

Yang menarik dari demonstrasi Agustus 2025 adalah bagaimana para "little men" ini berhasil melawan narasi bahwa politik adalah domain eksklusif elite. Demo yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia menginisiasi aksi "Indonesia Gelap" sebagai simbol keresahan publik terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa tidak berpihak kepada rakyat. Simbol "Indonesia Gelap" ini sangat tepat menggambarkan kondisi psikologis "little men" yang merasa digelapkan oleh sistem, namun justru dari kegelapan itu mereka menemukan cahaya perlawanan.

Demonstrasi ini juga menunjukkan bagaimana teknologi dan media sosial memberikan platform bagi "little men" untuk mengorganisir diri. Pengemudi ojek online yang biasanya terfragmentasi dalam aplikasi digital, mahasiswa yang tersebar di berbagai kampus, dan buruh yang terpisah dalam sektor-sektor berbeda, tiba-tiba bersatu dalam satu tuntutan kolektif. Ini adalah manifestasi modern dari apa yang Berman gambarkan sebagai kemampuan "little men" untuk menciptakan solidaritas di tengah kondisi sosial yang atomistik.

Namun, seperti yang terjadi dalam sejarah gerakan "little men" di tempat lain, demonstrasi Agustus 2025 juga tidak lepas dari tantangan dan keterbatasan. Gelombang aksi demonstrasi melanda sedikitnya 13 kota di Indonesia pada Jumat (29/8/2025), namun belum tentu memiliki struktur organisasi yang sustainable untuk perubahan jangka panjang. Kekuatan "little men" memang dahsyat dalam momen-momen krisis, tetapi sering kali kesulitan mempertahankan momentum ketika euforia mereda.

Dari perspektif Berman, inilah paradoks modernitas: sistem yang menciptakan "little men" sekaligus memberikan mereka ruang untuk perlawanan. Demonstrasi Agustus 2025 membuktikan bahwa dalam masyarakat modern, kekuasaan tidak lagi bisa dikuasai secara absolut oleh elite. Rakyat biasa, meski terbatas sumber dayanya, memiliki kemampuan untuk mengguncang struktur kekuasaan yang mapan.

Refleksi dari demonstrasi Agustus 2025 mengajarkan bahwa politik demokratis yang sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari partisipasi aktif "little men". Mereka adalah pengingat bahwa legitimasi politik tidak datang dari jabatan atau kekayaan, melainkan dari kemampuan untuk mewakili aspirasi rakyat. Ketika para "little men" bangkit dari bayang-bayang dan bersuara, itulah saat politik kembali ke hakikat dasarnya: sebagai ruang publik tempat semua warga negara memiliki hak yang sama untuk menentukan arah bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun