Pendahuluan
Setiap pagi, jutaan anak-anak dan remaja berangkat menuju sekolah. Mereka mengenakan seragam, membawa tas, dan menghadapi serangkaian pelajaran yang mungkin terasa seperti rutinitas belaka. Di bangku kuliah, mahasiswa berjuang memahami teori-teori rumit, menyelesaikan tugas, dan bersaing meraih IPK tinggi. Bahkan, setelah lulus pun, kita terus belajar---dari kursus singkat, seminar, buku, hingga pengalaman hidup sehari-hari. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: "Mengapa sebenarnya kita melakukan semua ini? Apa gunanya semua pengetahuan yang kita kumpulkan?"
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tetapi jawabannya jauh lebih dalam dari sekadar "agar dapat pekerjaan bagus" atau "supaya pintar". Ia menyentuh inti eksistensi kita sebagai manusia dan peran pendidikan dalam membentuk diri dan masyarakat. Bayangkan seorang anak yang bertanya, "Bu, kenapa aku harus belajar matematika?" atau seorang mahasiswa yang mengeluh, "Untuk apa sih mata kuliah filsafat ini?" Tanpa pemahaman yang kokoh tentang alasan mendasar pendidikan, seluruh proses ini bisa terasa hampa, membebani, dan kehilangan makna. Artikel ini akan mengajak kita menyelami akar-akar filosofis pendidikan, menggali aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi, untuk menemukan jawaban atas pertanyaan abadi: Mengapa kita belajar dan untuk apa?
Latar Belakang Masalah
Di tengah hiruk pikuk modernitas, pendidikan seringkali terjebak dalam paradigma pragmatis dan instrumental. Gelar sarjana kerap diasosiasikan langsung dengan status sosial dan peluang ekonomi. Kurikulum sekolah dan universitas tak jarang ditekankan pada penguasaan keterampilan teknis yang siap pakai di pasar kerja. Akibatnya, esensi pendidikan sebagai pembentuk manusia seutuhnya, yang mampu berpikir kritis, memiliki integritas moral, dan berkontribusi secara bermakna bagi masyarakat, kadang terpinggirkan.
Fakta ini diperparah oleh berbagai isu sosial dan budaya yang mengemuka. Maraknya disinformasi dan berita palsu menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis, yang merupakan hasil dari proses epistemologis yang baik, belum merata. Krisis moral dan etika yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat, dari korupsi hingga intoleransi, mengindikasikan adanya kekosongan dalam penanaman nilai (aksiologi) dalam pendidikan. Lebih jauh lagi, kegelisahan eksistensial para pelajar tentang masa depan mereka, atau bahkan kebingungan tentang identitas diri, menunjukkan bahwa aspek ontologis pendidikan---pemahaman tentang hakikat manusia dan realitas---belum sepenuhnya tersentuh. Tanpa pemahaman filosofis yang mendalam tentang "apa", "bagaimana", dan "untuk apa" pendidikan itu, kita berisiko menciptakan generasi yang terampil secara teknis namun hampa makna, cerdas secara intelektual namun miskin moral, dan maju secara material namun rapuh secara spiritual. Oleh karena itu, kembali merenungkan filsafat pendidikan menjadi sangat mendesak untuk membentuk sistem pendidikan yang lebih relevan dan berdaya guna.
Menguak Kedalaman Filsafat Pendidikan
Untuk menjawab pertanyaan "Untuk Apa Kita Terus Belajar?", kita perlu menelisik tiga aspek fundamental dalam filsafat pendidikan: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiganya merupakan pilar yang saling menopang dan memberikan kerangka komprehensif tentang hakikat, cara, dan tujuan pendidikan.
Aspek Ontologi Pendidikan: Hakikat Pendidikan dan Realitasnya
Ontologi, sebagai cabang filsafat yang membahas hakikat keberadaan, dalam konteks pendidikan mempertanyakan "apa itu pendidikan?" dan "bagaimana pendidikan itu ada?". Ini bukan sekadar mendefinisikan pendidikan sebagai proses transfer ilmu, melainkan menggali esensi dari elemen-elemen yang terlibat di dalamnya, yaitu peserta didik, pendidik, materi ajar, dan lingkungan belajar.
Jika kita melihat seorang anak yang belajar membaca, secara ontologis kita bertanya: Apa hakikat dari anak tersebut sebagai pembelajar? Apakah ia sekadar "wadah kosong" yang perlu diisi, ataukah ia adalah individu yang berpotensi, aktif, dan memiliki kebebasan? Pandangan ini sangat menentukan pendekatan pendidikan.