Madagaskar, sebuah pulau besar di pesisir timur Afrika, menyimpan jejak sejarah yang mengejutkan. Analisis genetika, linguistik, dan budaya menunjukkan bahwa penduduk awal Madagaskar bukan hanya berasal dari Afrika, tetapi juga memiliki hubungan erat dengan Nusantara. Bagaimana mungkin para pelaut dari Nusantara bisa menyeberangi Samudra Hindia dan membangun koloni di sana? Artikel ini akan mengungkap misteri tersebut.
Migrasi Nusantara ke Madagaskar
Studi genetika menunjukkan bahwa sekitar 93% garis keturunan ibu penduduk asli Madagaskar berasal dari Nusantara, terutama dari Kalimantan dan Sumatra. Penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa populasi awal Madagaskar kemungkinan besar terdiri dari sekitar 30 perempuan asal Nusantara yang tiba sekitar 1.200 tahun yang lalu (abad ke-5 hingga ke-10). Penelitian oleh Massey University juga mendukung temuan ini, menunjukkan bahwa akar DNA orang Madagaskar berasal dari Nusantara, dengan sekitar 30 perempuan pertama yang mendarat di pulau tersebut berasal dari Indonesia pada abad ke-9 Masehi.
Selain itu, bahasa Malagasi, bahasa utama Madagaskar, sekitar 90% berasal dari bahasa Austronesia, terutama bahasa Ma'anyan yang dituturkan oleh suku Dayak Ma'anyan di Kalimantan. Unsur bahasa Jawa dan Melayu juga ditemukan dalam kosakata sehari-hari mereka. Misalnya, kata "telu" dalam Malagasi berasal dari "telu" dalam bahasa Jawa yang berarti tiga, "vary" berasal dari "pari" yang berarti padi, dan "maimbo" berasal dari "mambu" yang berarti berbau busuk. Hal ini semakin menunjukkan adanya hubungan erat antara kedua wilayah.
Jalur Pelayaran Nusantara - Madagaskar
Jalur pelayaran kuno dari Nusantara ke Madagaskar kemungkinan besar memanfaatkan rute-rute strategis yang didukung oleh arus laut dan angin muson. Salah satu jalur yang memungkinkan adalah melewati Selat Malaka, melintasi Samudra Hindia, dan melewati Maladewa sebelum mencapai Madagaskar. Selat Malaka telah lama menjadi jalur pelayaran dan perdagangan utama yang menghubungkan Laut Andaman dengan Laut China Selatan dan Samudra Pasifik. Setelah melewati Selat Malaka, para pelaut kemungkinan besar melanjutkan perjalanan melintasi Samudra Hindia dan melewati kepulauan seperti Maladewa sebelum tiba di Madagaskar.Â
Jalur lain yang mungkin ditempuh adalah melalui pesisir selatan India dan Sri Lanka, sebelum menuju Kepulauan Chagos dan akhirnya mencapai Madagaskar. Arus laut di sepanjang jalur ini sangat mendukung navigasi kapal bahkan tanpa teknologi modern. Selain itu, jalur perdagangan Samudra Hindia pada masa itu sudah ramai dilalui oleh pedagang dari India dan Arab, sehingga ada kemungkinan migran Nusantara ikut serta dalam ekspedisi perdagangan ini atau bahkan bekerja sama dengan para pedagang untuk mencapai Afrika Timur.
Pelayaran ke Madagaskar sekitar abad ke-5 hingga ke-10, kemungkinan besar mereka menggunakan jenis kapal yang lebih awal, seperti kapal bercadik yang terlihat dalam relief Candi Borobudur. Keberhasilan pelaut Nusantara menyeberangi Samudra Hindia tidak lepas dari teknologi maritim yang mereka miliki. Dalam relief Candi Borobudur pun menunjukkan kapal bercadik dengan layar besar, ini membuktikan bahwa pelaut Nusantara memiliki kemampuan navigasi jarak jauh. Â Perahu cadik memang memiliki keunggulan luar biasa dalam ketahanan terhadap ombak besar dan badai di lautan. Struktur cadiknya, berupa balok penyeimbang di sisi kiri dan kanan perahu, membuatnya lebih stabil dibandingkan perahu tanpa cadik. Bahkan jika perahu ini terbalik, cadiknya tetap memberikan daya apung, memungkinkan para penumpangnya untuk bertahan dan menyelamatkan diri.
Keunggulan inilah yang membuat perahu cadik menjadi fondasi utama dalam perkembangan teknologi maritim Nusantara. Dari perahu bercadik sederhana, teknik pembuatan kapal di Nusantara berkembang menjadi kapal layar besar seperti Borobudur Ship dan akhirnya kapal Jung yang digunakan oleh kerajaan-kerajaan maritim besar. Kapal-kapal ini menjadi tulang punggung pelayaran dan perdagangan, membuktikan bahwa pelaut Nusantara telah menguasai lautan jauh sebelum bangsa Eropa menjelajah dunia.