Masih ingatkah luka pertama yang membuatmu tak bisa tidur?
Masih ingatkah luka pertama yang membuatmu tak mampu bangkit dari tempat tidur?
Aku yakin, luka-luka itu tak lekas hilang di benakmu, ia terus bertumbuh seiring kaumelanjutkan hidup.
Pikirkan ini saat kau berada di hadapan ember cucian atau mesin cuci,
"Apakah masa lalu bisa dikucek hingga bersih seperti mengucek kain putih yang bernoda darah?"
Atau, "Apakah masa lalu akan hilang ketika direndam selama tiga puluh menit?
Sejujurnya, aku skeptis.
Tak ada yang benar-benar tahu jawaban itu, berlalu seperti sesuatu yang terburu-buru melaju.
Bagi kau yang seringkali menyangkal, masa lalu masih menjadi komoditi di larik-larik puisi seseorang.
Bagi kau yang telah pergi, masa lalu adalah pintu keluar yang tak ingin kautoleh dikemudian hari.
Dan bagiku yang dikejar tenggat waktu, masa lalu seperti ransel penuh buku-buku tebal di pundakku bahkan seperti cermin retak yang selalu mendiami dinding kamarku.
Masa depan jadi sungkan mampir di percakapan kita.
Aku memandang masa depan seperti deretan kukis pandan yang sedang dibakar di pemanggang.
Aku juga memandang masa depan seperti kotak coklat bubuk van houten yang sedang terbuka di sudut dapur.
Tapi masa lalu selalu seperti angin buritan dan angin sakal tiap kali memilih melangkah menuju rute perjalanan yang baru.
Kelirukah aku telah menganggap masa lalu seperti tempias hujan di kaca jendela?
Dan kautahu, masa lalu telah menjelma nawala patra yang mengutuk cinta pertamamu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI