Mohon tunggu...
Destri Mairoza
Destri Mairoza Mohon Tunggu... Guru - Starting Point in Writing

Nama lengkap Destri Mairoza dengan panggilan Roza, kelahiran Nagari Taruang-taruang pada tanggal 3 Mei 1987. Saat ini bekerja sebagai pengajar di SMAN 1 Bukit Sundi Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perjalanan Si Tukang Beruk (Part 3)

17 Februari 2020   14:01 Diperbarui: 27 Februari 2020   18:38 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sejak beruk Pak Katik dibeli ayahnya, setiap pulang sekolah Ican selalu mendapat pesanan jasa untuk mengambilkan buah kelapa di ladang penduduk kampungnya. Tentu saja dengan senang hati Ican melaksanakannya. Dalam satu hari dia hanya bisa memetik di satu kebun karena paginya dia harus sekolah dulu. Dia tidak akan menerima pekerjaan kalau harus mengganggu sekolahnya.

Prinsipnya itulah yang membuat orang-orang salut kepada anak laki-laki yang baru saja memasuki jenjang pendidikan lanjutan, MTsAIN, sekolah pilihannya. Pendidikan adalah yang nomor satu, itu yang selalu tertanam dalam pikirannya.

Keusilan teman-temannya yang mengetahui pekerjaannya setiap pulang sekolah membuatnya selalu dicemooh sebagai 'Si Tukang Beruk'. Tapi tak pernah sekalipun Ican menaruh rasa kesal dan benci apalagi marah kepada teman-temannya. Menurutnya pekerjaannya itu hal yang baik, halal dan tidak mengganggu atau mengusik orang lain. Jadi untuk apa dia marah. Lambat laun mereka pasti akan berhenti dengan cemoohan itu. Dan benar saja, begitu penerimaan rapor pada catur wulan 1, disaat Ican yang sering dicemooh tampil ke depan sebagai juara umum, disitulah mereka semua menyadari bahwa pekerjaannya tidak mempengaruhi kemampuan belajarnya. Sejak saat itu Ican jadi memiliki banyak teman dan lebih dihargai.

Tabungan Ican mulai menggunung. Karena dia sudah kelas 3 MTsAIN, dia sudah memiliki rencana yang matang untuk menggunakan tabungannya sebagai modal ke kota melanjutkan sekolah di tempat yang diidamkannya. Namun nasib berkata lain, pagi itu Ican terpaksa tidak masuk sekolah karena harus mengantarkan Ibunya berobat.

"Ayo, Bu. Biar Ican yang antar Ibu ke rumah Ande Lela. Ayah di 'parak' dan tidak tahu pulang pukul berapa." Bujuk Ican untuk membawa Ibunya yang sedang sakit sejak semalam. Ayahnya sedang di 'parak' menunggui durian. Kalau sedang musimnya seperti sekarang, masyarakat di kampung akan sering bermalam di kebun durian mereka, karena uang hasil penjualan buah durian lumayan untuk pemasukan. Lokasi yang cukup jauh membuat Ican, yang merupakan anak laki-laki satu-satunya, memiliki tanggung jawab untuk menjaga Ibu dan kakak perempuan ketika sang Ayah tidak berada di rumah. 

"Tidak usah, Can. Kamu harus sekolah kan. Lagian Ande Lela belum tentu ada di rumah." tolak Ibunya yang tak mau dibawa berobat ke tempat Ande Lela, dukun di kampungnya tempat masyarakat biasa berobat.

Sebenarnya Ican tak mau membawa Ibunya berobat ke dukun, tapi karena pengobatan medis belum ada di kampung itu jadi dia terpaksa membawa Ibunya ke dukun.

"Tidak apa, Bu. Sudah dari semalam Ibu muntah dan mencret. Ayo." Ican kembali membujuk Ibunya sambil memapahnya ke luar rumah. Digendongnya tubuh Ibu yang sangat dicintainya itu dengan segenap daya yang dimiliki. Di tengah perjalanan, ada sebuah kuda pedati yang lewat, jadilah dia dan Ibunya menumpang. Sebagai imbalannya, Ican memberikan sedikit uang tabungannya sebagai pengganti ongkos kepada si pemilik pedati. 

Beruntung Ande Lela belum berangkat ke sawah. Ibunya langsung diurut dengan minyak kelapa sambil terus komat kamit, entah apa yang dibaca wanita 50 tahunan itu. Ican terus menggenggam tangan Ibunya dengan erat sambil terus mengucap istighfar di dalam hati. Ada pergolakan di dalam batinnya, apakah tindakannya ini benar, berobat ke dukun. Sedangkan dia sudah belajar di madrasah hampir selama tiga tahun. Tapi lagi-lagi kondisi lah yang memaksakan untuk seperti itu.

Ican kembali ke rumah dengan menggendong Ibunya.Karena tidak ada lagi pedati yang lewat, jadilah dia menggendong Ibunya sampai ke rumah. Disana Kak Nide, kakaknya, sudah menunggu dengan kegundahan. Begitu melihat ibu dan adiknya sudah kembali, ada raut lega di  wajah kakaknya itu. Ican dibantu kakaknya menidurkan Ibu mereka di dipan yang kasurnya sudah tipis. 'Ureh' yang tadi dibungkuskan Ande Lela diserahkannya ke kakaknya untuk direndam dengan segenggam beras dan air. Segera setelah itu, kakaknya meminumkan air itu tiga tegukan, dan membaluri airnya ke seluruh tubuh ibunya, mulai dari kepala, muka, kedua tangan, dada, perut, punggung, dan kedua kaki. Semua dilakukan sebanyak tiga kali. Ican mengingatkan kakaknya untuk membacakan ayat kursi disetiap usapan itu. Dia masih tidak yakin dengan pengobatan seperti itu.

Ketika sore, teman sekolah Ican yang rumahnya berdekatan mengunjungi Ican untuk menyampaikan pesan dari guru di sekolah. Pada masa itu, belum ada alat komunikasi untuk berkabar atau menyampaikan pesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun