Mohon tunggu...
Despen Ompusunggu
Despen Ompusunggu Mohon Tunggu... profesional -

Graduated from Jakarta Institute for Politic and social science (IISIP) 1993, journalist, communication expert and politician. NGO activist in human right and press freedom, coverage experiences nationally and internationally.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilpres, Kuda, Hingga Semboyan Kaum Banci

30 Mei 2014   23:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:55 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SITUASI politik menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 9 Juli 2014, menjadi centang parenang tidak karuan. Perubahan drastis begitu terasa, ketika lawan menjadi kawan, atau sebaliknya posisi kawan pun menjadi lawan. Umumnya terbelah dua, di kubu Capres dan Cawapres Jokowi-Jusuf Kalla dan kubu Prabowo-Hatta.

Berbagai alasan selalu mengemuka, mengapa mereka harus memihak. Sesuatu yang lumrah dalam demokrasi. Sayangnya, segala cara ditempuh dengan tujuan memenangkan jagoan dan menghancurkan pihak lawan. Mulai kampanye hitam (black campaign), fitnah, intrik, bohong, tipu dan akal-akalan lainnya. Pertarungan Pilpres bukan lagi kompetisi sehat, melainkan ajang perang dengan terminologi membunuh atau terbunuh. Killed or to be killed.

"Kondisi ini sangat menyayat hati saya, karena sesama anak bangsa seolah melupakan siapa mereka sebenarnya. Lebih menyedihkan lagi, para elit politik larut dalam syahwat kekuasaan. Bahkan seorang Amien Rais yang katanya Bapak Reformasi, tega mengibaratkan Pilpres 9 Juli sebagai perang badar. Saya juga baru mendengar ada sekelompok orang berbaju gamis menyerang rumah warga di Sleman, yang sedang menjalankan acara doa rosario. Ini benar-benar sangat membahayakan pluralitas, kebhinekaan bangsa Indonesia," keluh Bapak Proklamator Soekarno.

Dalam wicara imajiner Penulis dengan Presiden Republik Indonesia I, yang akrab disapa Bung Karno, tercermin keprihatinan mendalam terhadap perilaku elit politik, yang mengalami kemunduran dan kehilangan elan, karena orientasi kepentingan kekuasaan, maupun pragmatisme politik yang serba transaksional, di tengah himpitan kekuatan kapitalisme, walau terbungkus rapi atas nama demokrasi, kepentingan rakyat, serta kepentingan bangsa dan negara.

"Sekarang kamu mendengar dari kiri kanan, pihak sana pihak sini, semboyan kerakyatan. Kaum radikal bersemboyan kerakyatan, kaum reformis bersemboyan kerakyatan, kaum orde baru bersemboyan kerakyatan, kaum agamis bersemboyan kerakyatan, kaum intelektual bersemboyan kerakyatan, kaum aktivis juga bersemboyan kerakyatan, kaum borjuis dan kaum kaya bersemboyan kerakyatan, kaum radikal dan kaum banci pun bersemboyan kerakyatan. Semuanya atas nama kepentingan rakyat, yang membuat rakyat Indonesia kini menjadi bingung. Atau istilah anak muda sekarang ini, galau," papar Bung Karno.

Tapi kan the show must go on dan bangsa Indonesia harus tetap jalan Bung, di tengah lilitan berbagai persoalan dan ketidaksempurnaan sistem, termasuk kebejatan moral para pengelola negara atau pejabat publik yang terjerembab dalam perilaku koruptif, mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. "Walaupun memang, selalu mengatasnamakan kepentingan nasional," ujar Penulis.

"Iya memang," kata Bung Karno. "Karena tiap-tiap orang yang hidup di abad ke-21 ini, masih bernasionalisme ngelamun-ngelamunan, dan takut akan nasionalisme radikal yang mentah-mentahan. Akhirnya mereka pun tertinggal oleh hangatnya proses natuur sendiri, karena natuurnya abad sekarang, bukanlah pengelamunan yang manis, laksana zaman wayang-wayangan, melainkan rebutan hidup yang mentah-mentahan. Rakyat pun bergerak, bukan karena ideal-idealan, tetapi tak lain hanya mencari hidup dan mendirikan hidup. Hidup kerezekian, hidup kesosialan, hidup kepolitikan, hidup kekulturan, hidup keagamaan," lanjut Bung Karno.

"Pendek kata, hidup kemanusiaan yang leluasa dan sempurna, hidup kemanusiaan yang secara manusia dan selayak manusia. Adakah Indonesia merdeka bagi Marhaen menentukan hidup kemanusiaan yang demikian itu? Indonesia Merdeka sebagai saya katakan di atas, adalah menjanjikan, tetapi belum pasti menentukan bagi Marhaen hidup kemanusiaan yang demikian itu," begitu Bung Karno mengulangi apa yang termaktub dalam buku, Dibawah Bendera revolusi I.

Nah, untuk itu kan dibutuhkan pemimpin bangsa yang bisa menakhodai rakyat menuju masa depan hidup gemilang, masa depan yang lebih baik, menuju Indonesia yang tidak melupakan sikap kegotongroyongan, bangsa yang tidak melupakan keberagamannya, bangsa pluralis yang ditakdirkan berbeda, tetapi tetap satu, bhinneka tunggal ika. Rakyat kan harus memilih pemimpinnya dalam Pilpres 9 Juli mendatang. Hanya ada dua Capres, Jokowi dan Prabowo. "Siapa diantara mereka, pilihan terbaik untuk rakyat?" tanya penulis kepada Bung Karno.

"Yang jelas, Jokowi dan Prabowo itu sama-sama anak bangsa. Tetapi tentu, rakyat harus memilih yang terbaik bagi bangsa dan negara ini. Memang Prabowo kerap meniru-niru gaya saya berpakaian, juga berpidato, berapi-api, menggebu walau tak sampai menggelegar bahkan menggetarkan, ketika saya dulu berpidato, hingga membuat rakyat menangis. Tapi kamu harus ingat, esensi pemilihan presiden itu, bukan sekedar mencari presiden semata, melainkan mencari pemimpin yang memahami, menyelami dan mampu merasakan bagaimana perasaan nurani terdalam, serta penderitaan rakyat. Tangan seorang pemimpin tidak boleh ternoda oleh darah rakyatnya sendiri, seorang pemimpin tidak boleh tercela masa lalunya, pemimpin haruslah bersih dari dosa-dosa masa silam, karena pemimpin itu merupakan imam bagi rakyat. Pemimpin memang bukanlah nabi atau malaikat suci, tetapi untuk memperbaiki keadaaan maupun kesulitan rakyat, dibutuhkan sosok bersih, jujur, sederhana, tegas berpendirian dan selalu hadir bersama rakyatnya. Ini bukan soal gagah-gagahan, melainkan bangsa Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang tulus dan iklas, memberi teladan dan contoh kepemimpinan," papar Bung Karno.

Penulis pun mengingatkan kepada Bung Karno, tentang semangat revolusi yang sudah hampir dipadamkan, sudah menjadi dingin tanpa api, dan tak seorang pun tahu di mana itu ada. Juga tentang, hilangnya elan revolusioner, revolusi yang menderita semua jenis siksaan dari semua jenis kejahatan, semua jenis penderitaan neraka. Setan liberalisme, setan penyimpangan, setan avonturisme, serta berbagai dualisme, setan korupsi, setan pengumpulan kekayaan pada pihak tertentu, setan sistem multi partai dan setan pengkhianatan, sebagaimana dulu pernah disampaikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun