"Bu, Ayah mana?"
"Di depanmu."
Sambil memegangi rambutnya yang dikepang dua, gadis kecil itu melongok ke dalam mangkok. Ia melihat dua bola mata yang tatapnya sangat ia kenal.
"Ibu memasak mata Ayah?"
"Semur bola mata. Kesukaanmu."
Gadis kecil itu tampak ragu, membuka mulutnya atau tidak, sementara sendok berbola mata yang dipegang ibu sudah hampir menyentuh ujung hidungnya.
"Harum sekali. Bola mata ayahmu ini lebih lezat dibanding lainnya."
"Bukannya mata laki-laki di rumah sebelah lebih genit, Bu?"
"Dia belum beristri. Lain halnya dengan mata Pak RT, tapi tak segurih ini."
Sehari sebelumnya, jasad Pak RT ditemukan di semak-semak tanpa bola mata. Perutnya sobek, ususnya terburai.
"Apakah Ayah genit?"
"Kurang lebih begitu. Berkali-kali Ibu memergoki Ayahmu hendak mencumbu penjual jamu. Ibu benci dengan laki-laki yang tak setia. Matanya penuh dosa. Hatinya mudah tergoda."
"Lantas Ibu menyungkil mata Ayah?"
"Tidak. Ibu hanya meminta tolong Ayahmu untuk mengasah pisau tapi di atas perutnya. Ha...ha...ha..."
Gadis kecil terdiam, mencoba meresapi kata-kata Ibunya. "Jadi yang tak setia harus berakhir di meja makan," gumannya.
"Bu, adakah perempuan yang tak setia?"
"Kau pikir, kau ini anak siapa?"
***
Dengan tubuhnya yang ringkih, gadis kecil berkepang dua menyeret kursi, menaikinya sembari memegang sendok.
"Kompor Ibu terlalu tinggi."
Ia mulai mengaduk-aduk semur bola mata buatannya sendiri. Sementara tubuh Ibu tergeletak tak bermata.