Mohon tunggu...
deskianurcantika
deskianurcantika Mohon Tunggu... Pelajar

Saya siswi dari SMK NEGERI 6 KOTA BEKASI, Hobi saya membaca novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lara Asmara

27 Juni 2025   14:13 Diperbarui: 27 Juni 2025   14:13 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apartemen Arion dan Lara hangat malam itu. Cahaya temaram menimpa deretan foto polaroid di dinding, saksi bisu tawa dan pelukan mereka. Arion memeluk Lara dari belakang, aroma rambut Lara memenuhi indranya. Mereka larut dalam keheningan yang nyaman.

"Ingat foto ini, Sayang?" bisik Arion, menunjuk sebuah foto mereka di Bromo. "Waktu itu kamu kedinginan banget, padahal sudah aku bilang pakai jaket tebal. Tapi tetap maksa foto di bibir kawah."

Lara terkekeh, kepalanya bersandar di dada Arion.

"Tentu saja! Kamu panik banget waktu itu, Ra. Sampai-sampai mukamu merah padam, takut aku kenapa-kenapa. Padahal Cuma mau lihat sunrise dari dekat."

Arion mengecup puncak kepala Lara. "Itu kan memang kebiasaanmu, selalu membuatku khawatir. Tapi itu juga yang membuatku makin sayang, kok."

Ia membalik halaman album. Foto lain, mereka berdua tertawa lepas di festival musik.

"Oh, ini!" seru Lara, matanya berbinar. "Konser band favoritmu. Kamu joget sampai lupa diri. Untung aku merekamnya, jadi ada buktinya."

Arion tertawa kecil. "Dan kamu merekamnya! Aku bersyukur kamu tidak mengunggahnya ke media sosial. Bisa malu tujuh turunan aku kalau teman-teman melihatnya."

Mereka tertawa bersama. Tangan Arion merayap ke jari manis Lara, mengusap lembut cincin pertunangan yang melingkar. Dua bulan lagi, mereka akan menikah. Masa depan cerah terbentang di depan mata.

Kehangatan itu perlahan memudar.

Apartemen mereka, yang dulu dipenuhi tawa, kini sunyi, diselimuti kesedihan. Siang itu, Arion duduk sendirian di sofa, album foto yang sama di tangannya. Ia menatap punggung Lara yang membelakanginya, Lara berdiri di dekat jendela, tatapannya kosong.

"Lara," panggil Arion lembut, suaranya bergetar. "Lihat ini, Sayang. Foto kita di Bromo. Ingat? Kita... kita bahagia sekali di sana."

Lara menoleh, keningnya berkerut. "Bromo? Aku... aku pernah ke Bromo? Denganmu?"

Arion bangkit, mendekat perlahan. Ia mengulurkan album foto itu. "Tentu saja, Sayang. Itu perjalanan pertama kita berdua. Kamu kedinginan, aku meminjamkan jaketku. Kamu ingat? Jaket army kesayanganku."

Lara menatap foto itu, tatapannya kosong. "Aku... aku tidak ingat. Ini... ini siapa? Kamu?"

Jantung Arion diremas kuat. Ini sudah kesekian kalinya.

"Ini aku, Lara. Arion. Tunanganmu," ucap Arion, berusaha menahan suaranya. "Kita akan menikah dua bulan lagi. Ingat, gaun pengantinmu sudah hampir jadi."

Lara menggeleng pelan, ekspresinya dipenuhi kebingungan dan sedikit ketakutan. "Maaf... aku sungguh tidak ingat. Aku hanya... aku hanya merasa familiar dengan wajahmu, tapi... aku tidak tahu siapa kamu."

Mommy, ibu Lara dan Fiona, menelepon Arion hampir setiap hari, bertanya tentang kondisi Lara. Suara Fiona, adik Lara, juga sering terdengar, penuh kekhawatiran.

Lara Asmara, begitu Dokter menyebutnya. Kondisi langka yang pelan-pelan merenggut bukan hanya ingatan, tetapi juga esensi dari apa yang pernah mereka miliki. Kenangan pahit tetap utuh, namun tawa, ciuman, janji-janji manis, setiap momen romantis, semua itu perlahan menguap. Meninggalkan Lara dalam kabut kebingungan dan Arion dalam duka yang tak terperi.

Arion duduk di kursi tunggu rumah sakit, lesu. Dokter keluar dari ruangan Lara, ekspresinya prihatin.

"Bagaimana, Dok?" tanya Arion, suaranya serak. "Ada kemajuan?"

Dokter menghela napas panjang. "Maaf, Arion. Kondisi Lara masih stagnan. Bahkan ada beberapa memori baru yang sempat ia rekam, kembali memudar dalam hitungan jam. Kita... kita masih belum menemukan penyebab pastinya. Semua tes menunjukkan hasil normal, tapi nyatanya kondisi Lara semakin menurun."

Arion menunduk, meremas jemarinya. "Jadi... tidak ada harapan, Dok? Apa yang harus saya lakukan? Saya sudah coba segalanya."

"Teruslah ada untuknya, Arion," ujar Dokter, menepuk bahu Arion pelan. "Ciptakan memori baru, meskipun mungkin itu akan hilang lagi. Setidaknya, selama memori itu ada, dia merasakan kebahagiaan. Dan siapa tahu, suatu saat nanti, ada terobosan dari penelitian baru yang sedang berjalan."

Arion hanya bisa mengangguk pasrah.

"Arion!" sebuah suara berat memanggilnya. Arka Dean, teman dekat Arion, berjalan mendekat dengan ekspresi khawatir. "Bagaimana Lara? Aku sudah dengar dari Mommy. Aku baru saja sampai dari luar kota."

"Sama saja, Ka," jawab Arion lesu. "Bahkan makin parah. Dia sudah tidak mengenali aku sepenuhnya lagi. Dia menatapku seperti orang asing."

Arka duduk di samping Arion, menepuk punggungnya. "Aku turut prihatin, Yon. Ini pasti berat sekali bagimu."

"Lebih dari berat, Ka. Rasanya... seperti aku kehilangan dia, berkali-kali setiap hari." Arion menatap kosong ke depan. "Dulu dia selalu bilang, kalau aku melupakan sesuatu, dia akan selalu mengingatkanku. Tapi sekarang... dia yang melupakan, dan aku tidak tahu bagaimana lagi cara mengingatkannya."

"Bagaimana kalau kita coba bawa dia jalan-jalan?" saran Arka. "Ke tempat-tempat yang dulu sering kalian kunjungi. Mungkin suasana yang familiar bisa memicu sesuatu."

Arion menggeleng. "Sudah kulakukan, Ka. Taman, kafe, bioskop... hasilnya nihil. Dia hanya menatapku bingung. Bahkan kadang dia takut, mengira aku orang asing yang mencoba memaksanya mengingat sesuatu yang tidak ia rasakan."

"Lalu apa rencanamu sekarang?" tanya Arka.

"Aku tidak tahu, Ka. Aku benar-benar tidak tahu," bisik Arion, kepalanya tertunduk. "Aku hanya ingin Lara-ku kembali."

"Aku akan bantu semampuku, Yon," kata Arka. "Apapun itu."

Arion memutuskan untuk mencoba lagi. Ia membawa Lara ke taman kota yang dulu sering mereka kunjungi. Ia membeli es krim rasa vanila.

"Ini rasa vanila, Sayang," kata Arion, menyodorkan es krim cone kepada Lara. "Kesukaanmu."

Lara menerima es krim itu, mencicipinya ragu. "Aku suka vanila? Benarkah?"

"Tentu saja," jawab Arion, berusaha tersenyum. "Dulu kamu selalu protes kalau aku beli rasa lain. Katanya vanila itu paling klasik dan paling enak."

Arion mengeluarkan kamera polaroidnya, memotret Lara yang tersenyum tipis, menikmati es krimnya.

"Ayo kita ke ayunan itu," ajak Arion, menunjuk sebuah ayunan. "Dulu kita suka balapan siapa yang bisa ayunan paling tinggi."

Lara menatap ayunan itu, lalu menatap Arion dengan pandangan kosong. "Balapan? Sepertinya aku tidak pandai ayunan."

"Tidak apa-apa, ayo kita coba," Arion tetap berusaha.

Ia mendorong ayunan Lara pelan. Ia tertawa, menceritakan lelucon-lelucon garing. Namun, respons Lara hanya berupa senyum tipis, terkadang tatapan bingung.

Arion tak menyerah. Ia membawa Lara ke tempat-tempat yang pernah menjadi saksi bisu cinta mereka, mencoba menstimulasi ingatannya. Setiap tawa Lara yang singkat, setiap tatapan bingung yang melunak sesaat, adalah secercah harapan. Namun, itu semua seperti membangun istana pasir; indah sesaat, lalu dihantam ombak dan lenyap.

Malam itu, Arion duduk di lantai apartemen, dikelilingi puluhan foto polaroid. Beberapa foto lama, sebagian besar foto baru. Wajahnya menampakkan keputusasaan. Lara sudah tidur.

Ia mengambil salah satu foto baru Lara yang tersenyum saat memegang bunga darinya. Lalu, ia membandingkannya dengan foto lama Lara di hari pertunangan mereka. Air mata jatuh dari matanya.

"Bagaimana aku bisa membuatmu mengingatku, Lara?" bisik Arion pada dirinya sendiri. "Aku... aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.'

Pandangannya mengembara ke sekeliling ruangan. Matanya tertuju pada sebuah sketsa lama di meja kopi. Sketsa itu adalah desain gaun pengantin yang pernah Lara buat, jauh sebelum penyakit itu menyerang. Di sebelahnya, ada buku sketsa Lara yang lain, penuh dengan desain-desain abstrak.

Sebuah ide muncul di benak Arion. Mungkin kuncinya bukan pada apa yang telah hilang, tapi pada apa yang bisa mereka ciptakan kembali, dari awal.

Pagi berikutnya, Arion membawa Lara ke Toko Roti di sudut jalan, dekat apartemen mereka. "Kamu suka aroma roti baru dipanggang, kan?" tanya Arion, menghirup dalam-dalam aroma manis yang menguar.

Lara tersenyum kecil. "Baunya enak sekali. Rasanya... aku ingin mencicipi semuanya."

"Ayo kita coba membuat sendiri," ajak Arion, tangannya menggenggam tangan Lara.

Mereka membeli bahan-bahan dan kembali ke apartemen. Arion membimbing Lara membuat roti. Tangan Lara masih kaku, tapi ia terlihat menikmati. Arion mengambil foto-foto polaroid mereka yang berlumuran tepung, tertawa saat adonan menempel di hidung Lara.

"Rasanya ini lebih menyenangkan daripada melukis, ya?" tanya Lara, saat adonan roti sudah mengembang sempurna.

Arion tersenyum. "Apapun yang membuatmu senang, Sayang."

Mereka menghabiskan sore itu dengan memanggang roti dan kue-kue sederhana. Apartemen mereka kini tak hanya beraroma cat, tapi juga wangi roti panggang yang hangat.

Beberapa hari kemudian, Arion membawa Lara dan Fiona ke taman bermain yang tak jauh dari apartemen. Fiona sering datang berkunjung untuk menemani kakaknya.

"Kak Lara, ayo kita naik perosotan! Dulu, kak Lara paling suka main perosotan" ajak Fiona riang, menarik tangan Lara.

Lara tampak ragu. "Aku... aku tidak ingat pernah bermain perosotan."

"Tidak apa-apa, Kak! Seru, kok! Nanti aku duluan, Kakak menyusul," bujuk Fiona.

Arion mengangguk setuju. "Fiona benar, Lara. Coba saja. Kalau tidak nyaman, kita bisa berhenti."

Lara akhirnya setuju. Arion melihat dari kejauhan, Lara tertawa renyah saat meluncur di perosotan, tawa yang sudah lama tidak Arion dengar. Fiona memeluk kakaknya erat.

"Bagaimana, Kak? Seru, kan?" tanya Fiona.

"Seru sekali!" seru Lara, matanya berbinar. "Rasanya seperti anak kecil lagi."

Arion mengambil beberapa foto polaroid mereka bertiga yang sedang tertawa di taman bermain. Arion mulai memahami. Ini bukan lagi tentang memaksakan kenangan lama, melainkan menciptakan kenangan baru. La berhenti bertanya "ingat ini?" atau "ingat itu?". La hanya fokus pada "ayo kita coba ini" atau "lihat betapa indahnya ini". Lara mungkin tidak mengingat nama tempat-tempat yang mereka kunjungi, atau cerita di balik setiap foto lama. Tapi, senyum itu, tawa itu, dan kenyamanan yang Lara rasakan saat bersamanya, itu nyata. Dan itu cukup bagi Arion.

Sore itu, Arion dan Lara sedang dalam mobil, pulang dari terapi rutin Lara di rumah sakit. Suasana di dalam mobil hening, hanya ada suara radio yang memutar lagu-lagu santai.

"Arion..." Lara memecah keheningan.

"Ya, Sayang?" Arion menoleh sekilas ke arah Lara.

"Aku... aku mungkin tidak selalu ingat apa yang sudah kita lakukan dulu," ucap Lara, menatap keluar jendela.

Hati Arion berdesir. Ia menghentikan mobil di tepi jalan yang sepi. "Aku tahu itu," jawab Arion lembut, meraih tangan Lara.

"Tapi..." Lara menoleh, mengusap pipi Arion dengan lembut. "Tapi aku tahu, aku selalu merasa nyaman dan bahagia saat bersamamu. Rasanya... seperti aku pulang setiap kali bersamamu. Meskipun aku tidak ingat nama tempat atau detailnya, aku ingat bagaimana perasaanku saat itu. Aku merasa aman."

Air mata menggenang di mata Arion. Ini bukan kenangan yang kembali, tapi sebuah pengakuan tulus dari hati Lara, di masa sekarang. Sebuah fondasi baru telah terbentuk, lebih kuat dari sekadar memori yang bisa hilang. Sebuah koneksi yang melampaui ingatan.

"Itu sudah lebih dari cukup, Sayang," bisik Arion, suaranya bergetar. "Itu sudah lebih dari cukup bagiku."

Arion mendekap Lara erat. Lara membalas pelukannya, meskipun mungkin tidak dengan ingatan yang sama akan setiap momen yang mereka lalui, tapi dengan rasa aman dan cinta yang ia rasakan saat itu. Pelukan itu terasa begitu nyata, begitu hangat.

Apartemen itu kini dipenuhi dengan lukisan-lukisan abstrak Lara yang berwarna-warni, kerajinan tangan sederhana, dan foto-foto polaroid yang jauh lebih banyak. Fotonya memenuhi hampir seluruh dinding, menjadi mozaik kisah mereka. Bukan hanya foto-foto lama, tapi juga foto-foto baru yang menangkap setiap momen kecil kebahagiaan yang mereka ciptakan.

Malam itu, Lara sedang membaca buku di sofa, sesekali tersenyum sendiri. Arion duduk di sampingnya, membaca buku lain. Suasana hening, namun bukan lagi hening yang menyakitkan, melainkan hening yang penuh kedamaian.

"Arion," panggil Lara, suaranya lembut.

"Ya, Sayang?"

"Besok kita buat cupcake lagi, ya?" pinta Lara, matanya berbinar. "Aku ingin coba hias yang lebih banyak warna."

Arion tersenyum, mengangguk. "Tentu saja. Kita buat yang paling indah."

Kamera menyorot ke dinding yang dipenuhi foto-foto. Ada foto lama, ada foto baru. Semuanya bercampur, menjadi mozaik kisah mereka. Kisah yang tak sempurna, mungkin tidak seperti yang mereka bayangkan, tapi nyata, penuh dengan perjuangan, kesabaran, dan cinta yang terus mengalir. Lara mungkin melupakan masa lalu, namun Arion tak akan pernah membiarkannya melupakan bagaimana rasanya dicintai, di setiap momen yang akan datang. Kisah mereka adalah tentang cinta yang bukan hanya tentang mengingat, tetapi juga tentang menciptakan dan menerima.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun