Arion tersenyum. "Apapun yang membuatmu senang, Sayang."
Mereka menghabiskan sore itu dengan memanggang roti dan kue-kue sederhana. Apartemen mereka kini tak hanya beraroma cat, tapi juga wangi roti panggang yang hangat.
Beberapa hari kemudian, Arion membawa Lara dan Fiona ke taman bermain yang tak jauh dari apartemen. Fiona sering datang berkunjung untuk menemani kakaknya.
"Kak Lara, ayo kita naik perosotan! Dulu, kak Lara paling suka main perosotan" ajak Fiona riang, menarik tangan Lara.
Lara tampak ragu. "Aku... aku tidak ingat pernah bermain perosotan."
"Tidak apa-apa, Kak! Seru, kok! Nanti aku duluan, Kakak menyusul," bujuk Fiona.
Arion mengangguk setuju. "Fiona benar, Lara. Coba saja. Kalau tidak nyaman, kita bisa berhenti."
Lara akhirnya setuju. Arion melihat dari kejauhan, Lara tertawa renyah saat meluncur di perosotan, tawa yang sudah lama tidak Arion dengar. Fiona memeluk kakaknya erat.
"Bagaimana, Kak? Seru, kan?" tanya Fiona.
"Seru sekali!" seru Lara, matanya berbinar. "Rasanya seperti anak kecil lagi."
Arion mengambil beberapa foto polaroid mereka bertiga yang sedang tertawa di taman bermain. Arion mulai memahami. Ini bukan lagi tentang memaksakan kenangan lama, melainkan menciptakan kenangan baru. La berhenti bertanya "ingat ini?" atau "ingat itu?". La hanya fokus pada "ayo kita coba ini" atau "lihat betapa indahnya ini". Lara mungkin tidak mengingat nama tempat-tempat yang mereka kunjungi, atau cerita di balik setiap foto lama. Tapi, senyum itu, tawa itu, dan kenyamanan yang Lara rasakan saat bersamanya, itu nyata. Dan itu cukup bagi Arion.