Arion tak menyerah. Ia membawa Lara ke tempat-tempat yang pernah menjadi saksi bisu cinta mereka, mencoba menstimulasi ingatannya. Setiap tawa Lara yang singkat, setiap tatapan bingung yang melunak sesaat, adalah secercah harapan. Namun, itu semua seperti membangun istana pasir; indah sesaat, lalu dihantam ombak dan lenyap.
Malam itu, Arion duduk di lantai apartemen, dikelilingi puluhan foto polaroid. Beberapa foto lama, sebagian besar foto baru. Wajahnya menampakkan keputusasaan. Lara sudah tidur.
Ia mengambil salah satu foto baru Lara yang tersenyum saat memegang bunga darinya. Lalu, ia membandingkannya dengan foto lama Lara di hari pertunangan mereka. Air mata jatuh dari matanya.
"Bagaimana aku bisa membuatmu mengingatku, Lara?" bisik Arion pada dirinya sendiri. "Aku... aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.'
Pandangannya mengembara ke sekeliling ruangan. Matanya tertuju pada sebuah sketsa lama di meja kopi. Sketsa itu adalah desain gaun pengantin yang pernah Lara buat, jauh sebelum penyakit itu menyerang. Di sebelahnya, ada buku sketsa Lara yang lain, penuh dengan desain-desain abstrak.
Sebuah ide muncul di benak Arion. Mungkin kuncinya bukan pada apa yang telah hilang, tapi pada apa yang bisa mereka ciptakan kembali, dari awal.
Pagi berikutnya, Arion membawa Lara ke Toko Roti di sudut jalan, dekat apartemen mereka. "Kamu suka aroma roti baru dipanggang, kan?" tanya Arion, menghirup dalam-dalam aroma manis yang menguar.
Lara tersenyum kecil. "Baunya enak sekali. Rasanya... aku ingin mencicipi semuanya."
"Ayo kita coba membuat sendiri," ajak Arion, tangannya menggenggam tangan Lara.
Mereka membeli bahan-bahan dan kembali ke apartemen. Arion membimbing Lara membuat roti. Tangan Lara masih kaku, tapi ia terlihat menikmati. Arion mengambil foto-foto polaroid mereka yang berlumuran tepung, tertawa saat adonan menempel di hidung Lara.
"Rasanya ini lebih menyenangkan daripada melukis, ya?" tanya Lara, saat adonan roti sudah mengembang sempurna.