"Lara," panggil Arion lembut, suaranya bergetar. "Lihat ini, Sayang. Foto kita di Bromo. Ingat? Kita... kita bahagia sekali di sana."
Lara menoleh, keningnya berkerut. "Bromo? Aku... aku pernah ke Bromo? Denganmu?"
Arion bangkit, mendekat perlahan. Ia mengulurkan album foto itu. "Tentu saja, Sayang. Itu perjalanan pertama kita berdua. Kamu kedinginan, aku meminjamkan jaketku. Kamu ingat? Jaket army kesayanganku."
Lara menatap foto itu, tatapannya kosong. "Aku... aku tidak ingat. Ini... ini siapa? Kamu?"
Jantung Arion diremas kuat. Ini sudah kesekian kalinya.
"Ini aku, Lara. Arion. Tunanganmu," ucap Arion, berusaha menahan suaranya. "Kita akan menikah dua bulan lagi. Ingat, gaun pengantinmu sudah hampir jadi."
Lara menggeleng pelan, ekspresinya dipenuhi kebingungan dan sedikit ketakutan. "Maaf... aku sungguh tidak ingat. Aku hanya... aku hanya merasa familiar dengan wajahmu, tapi... aku tidak tahu siapa kamu."
Mommy, ibu Lara dan Fiona, menelepon Arion hampir setiap hari, bertanya tentang kondisi Lara. Suara Fiona, adik Lara, juga sering terdengar, penuh kekhawatiran.
Lara Asmara, begitu Dokter menyebutnya. Kondisi langka yang pelan-pelan merenggut bukan hanya ingatan, tetapi juga esensi dari apa yang pernah mereka miliki. Kenangan pahit tetap utuh, namun tawa, ciuman, janji-janji manis, setiap momen romantis, semua itu perlahan menguap. Meninggalkan Lara dalam kabut kebingungan dan Arion dalam duka yang tak terperi.
Arion duduk di kursi tunggu rumah sakit, lesu. Dokter keluar dari ruangan Lara, ekspresinya prihatin.
"Bagaimana, Dok?" tanya Arion, suaranya serak. "Ada kemajuan?"