Di era keterbukaan informasi, legitimasi seorang pemimpin tidak cukup hanya ditopang oleh keterangan resmi institusi, tetapi juga oleh kemauan untuk terbuka, menunjukkan bukti, dan menjelaskan secara langsung kepada publik. Keengganan untuk membuka ijazah secara fisik, meski secara hukum tidak selalu salah, tetap akan menjadi beban moral dan politik di hadapan publik yang makin kritis.
Ijazah dan Narasi Negara
Penting untuk dicatat bahwa kepercayaan publik tidak dibangun hanya dengan konfirmasi legal dari lembaga formal. Ijazah bukan hanya dokumen hukum, tetapi juga simbol narasi negara tentang meritokrasi, pendidikan, dan kelayakan kepemimpinan. Ketika seorang pemimpin tidak bisa atau tidak mau menunjukkan dokumen kelulusannya, maka secara simbolik, narasi meritokrasi itu pun goyah.
Sementara itu, tanggapan dari pihak kampus pun sebaiknya tidak hanya berupa rilis atau pernyataan umum di media. Universitas sebagai institusi akademik semestinya menjunjung tinggi keterbukaan ilmiah dan transparansi. Klarifikasi yang bersifat administratifmisalnya dengan menunjukkan arsip akademik, daftar nilai, hingga dokumen kelulusan di depan publik justru akan memperkuat kredibilitas institusi.
Dalam konteks ini, UGM memiliki peran ganda: sebagai penjaga otoritas akademik dan sebagai institusi publik yang berkontribusi pada tegaknya transparansi. Tidak cukup hanya menyatakan "Jokowi lulusan kami," tetapi juga perlu membuktikannya secara terbuka dengan data dan dokumentasi.
Di tengah polarisasi politik dan banjir disinformasi, jalan terbaik untuk meredakan polemik bukanlah dengan pernyataan yang defensif atau mengancam, melainkan dengan keterbukaan. Pemerintah, tim hukum, dan pihak kampus seharusnya mengambil inisiatif untuk mengakhiri perdebatan dengan cara yang paling elegan dan meyakinkan: mempublikasikan ijazah Presiden secara resmi, lengkap dengan dukungan data administratif dan akademik dari kampus.
Langkah ini bukan hanya akan meredam tuduhan, tetapi juga menunjukkan sikap kenegarawanan dan komitmen terhadap prinsip transparansi. Di sisi lain, publik juga perlu menjaga etika dalam bertanya dan tidak serta-merta menjatuhkan tuduhan tanpa dasar yang jelas. Kritik yang tajam tetap harus dilandasi niat baik dan tanggung jawab moral.
Hukum memang bisa mengesahkan suatu status dengan dokumen dan otoritas. Namun, kepercayaan publik tidak bisa dibangun hanya dengan klaim legal. Ia tumbuh dari kejujuran, keterbukaan, dan sikap tidak alergi terhadap kritik. Di tengah krisis kepercayaan pada institusi negara, termasuk pada pendidikan tinggi, momentum polemik ijazah ini justru bisa menjadi pelajaran penting bagi semua pihak: bahwa dalam demokrasi, tidak ada kebenaran yang terlalu suci untuk diuji.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI