Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya orang biasa

Wa/sms 0856 1273 502

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Namaku Awai 117-119

18 Mei 2018   08:12 Diperbarui: 18 Mei 2018   11:14 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar sampul novel

Awai merasa aneh. Siapa pengirim bunga misterius itu ? Apa mungkin Kam Bing Ti ingin meminta maaf padanya?

" Janji, aku takkan memakinya."

Yolana menepuk tangan dua kali lagi. Dibalas tepukan dari luar 2 kali. Pintu terbuka perlahan-lahan, seraut wajah muncul di pintu, seakan sedang mengintip.

Hati Awai berdebar-debar. Benarkah Kambing Ti ingin meminta maaf padanya? Apakah gara gara ia berhenti sekolah makanya Kam Bing Ti kasihan lalu mengirim bunga untuk meminta maaf?

Ia tertegun. Ia terbengong. Wajah itu sama sekali tak diduganya. Tak pernah dibayangkan orang yang mengirim bunga setiap hari itu dia. Mana mungkin seorang yang sudah punya dua pacar mengirim bunga mawar setiap hari padanya.

Han Tiong It perlahan-lahan masuk. Ia tak berani tersenyum. Ia gemetar dari kaki, lutut, tangan, hati, dan bibirnya. Bunga mawar yang berada dalam genggamannya ikut gemetar.

" Kamu...."

" Selamat sore, Awai. Kalau kunjungan ini mengganggumu, kamu boleh menyuruhku keluar." Ucap Han Tiong It dengan hati berdebur tak karuan.

Awai tertegun hingga lupa bersuara. Kenangan pertemuan pertama mereka terbayang di pelupuk mata. Terbayang Tiong It meminjam sepedanya untuk membeli obat, sepedanya bau amis, Tiong It sama sekali tak peduli, lalu Tiong It memboncengnya sambil ia memeluk sebakul ikan, Tiong It juga tak mengatainya amis. Kenangan itu seakan menghapus omongan Ting Ling serta bayangan Ting Ling yang dibonceng Tiong It ke sekolah. Kana sudah menjelaskan padanya, bahwa Tiong It membantah membonceng Ting Ling. Pagi ini ban beca Ting Ling bocor. Ting Ling yang meminta Tiong It memboncengnya. Tiong It menolak, Ting Ling mengancam akan meminta pamannya tidak membeli es dari pabrik Es Mulia. Kana juga telah menjelaskan bahwa Remisa yang meminta Tiong It memboncengnya ke dermaga untuk mencari Asian.

" Tidak. Tidak mengganggu. Silahkan masuk," ucap Awai gagap dan gugup.

" Makasih. Ini... ingin kuberikan langsung padamu. Maaf, selama ini aku berlaku pengecut, selalu menyusahkan suster Sarifah. Aku berharap kamu menerima permintaan maafku." Ucap Tiong It penuh perasaan, membuat Awai menundukkan wajahnya.

Awai malu telah berburuk sangka. Ia menerima bunga ros itu dengan tangan gemetar. " Kamu tak perlu meminta maaf, aku yang harus meminta maaf karena telah salah sangka padamu."

" Kupikir kamu marah padaku. Selama ini aku tak berani datang, takut kamu mengusirku."

" Aku sadar kondisiku, aku tak berani mengusir tamu yang datang menjenguk ayahku."

" Oh, ya. Bagaimana keadaan paman Tan? Apakah sudah membaik." Tanya Tiong It, keduanya berdiri, saling kikuk.

" Membaik sedikit demi sedikit. Dokter mengatakan, setelah sembuh papa akan menderitalumpuh sebelah. Tidak bisa berjalan normal layaknya manusia biasa."

" Aku hanya bisa bersimpati. Hanya bisa mendoakan, tak bisa membantu apa apa. Kudengar kamu berhenti sekolah. Apa kabar itu benar ? " tanya Tiong It sambil menatap wajah Awai tanpa kedip, entah kenapa menatap wajah Awai membuat hatinya tenteram hingga lupa rasa lapar dan haus.

Awai mengangguk. " Tiada yang bisa membantuku merawat papa, aku terpaksa berhenti."

" Ehem, ehem. Katanya kalau dia muncul mau disuruh duduk. Kenapa dia dibiarkan berdiri ?" sela Yolana dari samping.

Awai salah tingkah mendengarnya. Ia mencari kursi yang biasa diduduki tamu pasien lain. Untungnya ada. Ia menyilahkan Tiong It duduk, sementara ia tetap berdiri agak jauh dari Tiong It.

" Sangat disayangkan berhenti 2 bulan menjelang ujian akhir. Bagaimana kalau kubantu kamu mengatakan pada kepala sekolah agar kamu diberi kelonggoran ?" tanya Tiong It, berusaha bersikap tenang sambil menenangkan deburan jantungnya.

" Aku, mungkin tak bisa. Aku tak punya uang untuk membayar spp, selain itu, tak ada yang menjaga papa. Aku tak bisa meninggalkan papa. Papa membutuhkan aku. Aku harus selalu berada di sampingnya."

Tan Suki hanya pura-pura tidur. Dari sudut matanya mengalir air ke bantal. Ia sudah berusaha menahan rasa haru. Tetap saja air bening itu membasahi bantalnya. Ia tahu gara gara penyakitnya, ia telah menghampakan masa depan Awai.

Buku ini telah dicetak, bagi yg berminat bisa WA/SMS ke 0856 1273 502

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun