Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Classic rock addict || Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing || Lulusan S1 FIKOM konsentrasi Jurnalistik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kuterbangkan Rindu bersama Sayap-sayap Doa

6 Juni 2019   08:21 Diperbarui: 6 Juni 2019   19:54 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kiri : pixabay.com, gambar kanan : pinterest

Pinggir kota Paris, 4 Juni, pagi ini. Langit yang mendung seakan mengikuti langkahku ketika berjalan menuju sebuah masjid untuk melakukan sholat Idul Fitri yang dimulai pukul sembilan. Yazid, pemuda asal Maroko yang sudah sebulan ini dekat denganku berjalan mengikuti dari belakang. 

"Kuharap hujan datang seusai sholat." ujarnya setelah menyejajarkan langkahnya denganku. Aku tidak menggubris, masih berkonsentrasi pada langkah kakiku.

"Kau nampak sedih." komentarnya sambil merapikan gamis putih yang katanya dikirimkan pamannya langsung dari Marrakech, salah satu kota di Maroko.

"Aku baik-baik saja, hanya menjadi teringat akan kenanganku dulu tentang masjid di malam-malam bulan puasa." sahutku pelan. Yazid hanya tersenyum kecil mendengarnya. 

Sesampainya di bangunan yang tak berkubah dan tak jauh dari tempat tinggalku itu, aku mengambil posisi di barisan ketiga dari belakang. Kulihat orang-orang mulai berdatangan, sebagian besar bersama anggota keluarga. Aku menghela nafas. Sudah lima tahun, semenjak aku mencoba peruntungan untuk merajut hidup di negara ini, aku belum pernah sekalipun menginjakkan kakiku di masjid. Jangankan ke masjid, tiap Ramadan pun, aku selalu bolos. 

Pikiranku akhirnya mengembara menuju saat-saat aku masih remaja yang tidak pernah absen datang ke masjid untuk melakukan sholat tarawih. Selain memang ada tugas harus meminta tanda tangan Imam selesai ceramah demi nilai bagus pada mata pelajaran Agama, aku sangat menikmati saat-saat kebersamaan dengan kawan-kawan seusiaku, pergi dan pulang beramai-ramai, sholat bersama meski selalu memilih untuk berada di barisan belakang dan sering diomelin ibu-ibu karena kami berisik sibuk cekikikan. Ah, kenangan itu. Aku tersenyum-senyum sendiri. 

Selesai sholat, sesampainya di apartemen, kuterima pesan singkat dari Mama yang mengucapkan selamat Lebaran lalu mengatakan kalau ia masih harus puasa beberapa jam lagi karena tahun ini, negara tempatku bermukim merayakan Lebaran satu hari lebih awal. Setelah membalas pesan Mama, aku membuatkan diriku secangkir teh hijau. Kupandangi luar jendela yang mulai basah tersentuh air hujan. Apa enaknya Lebaran sendiri begini ditambah aku yang tidak menjalankan puasa sama sekali. Apa pantas aku mengikuti sholat Ied dan mendapatkan ucapan Idul Fitri dari mereka yang hadir di masjid tadi terlebih dari orangtuaku sendiri? Tiba-tiba aku teringat percakapanku dengan Mama di awal Ramadan.

“Kau tidak puasa lagi tahun ini?” tanya Mama pelan ketika aku berbicara dengannya melalui telepon. 

Nggak ah, kelamaan! Sahur jam tiga pagi beduk jam sepuluh malem. Bisa pingsan Nina siangnya.” jawabku ketus.

Lah, orang-orang muslim di sana juga pada puasa, kan? Mereka kok bisa?” tanya Mama mencoba memberikan konfrontasi.

Kan mereka emang udah biasa.” sahutku masa bodoh.

“Kamu sudah tinggal lima tahun di sana tapi masih belum terbiasa juga. Kamu kan muslim, masa nggak pernah mau puasa lagi? Dulu waktu kecil rajin sekali puasa.” Mama mencoba membangkitkan kenangan.

Kalo Nina ada di Jakarta, Nina juga pasti puasa kok, Ma.” tukasku, masih masa bodoh.

“Kenapa waktu dan tempat malah jadi halangan? Lagipula, cuma sebulan kok dari duabelas bulan kamu diwajibkan puasa. Kalau tidak mau puasa ya kamu sholat lima waktu deh yang rajin.” pinta Mama.

“Ah, udah ah, Nina males aja ngejalanin puasa di sini. Mama nggak ngerti. Panasnya gila-gilaan, 35 derajat! Ntar Nina pingsan gimana? Nina kan harus kerja. Kerjaan Nina butuh konsentrasi yang luar biasa, kalo nggak ntar pesawat-pesawat itu pada tabrakan di langit!” aku berseru.

“Ya sudah, Mama mau sahur dulu di sini. Kamu tidur, lah Nin. Masih ada waktu kok kalo kamu mau coba puasa di sana.” ucap Mama lembut. Mendengar ucapan Mama yang seperti itu aku semakin kesal.

“Ya udah, terserah Nina dong!” sahutku, kali ini ketus to the max.

Susah sekali, sih membuat orang mengerti apa yang aku rasakan, ucapku dalam hati setelah percakapan dengan Mama selesai. Tapi aku memang sudah tahu. Seperti biasa, setiap Ramadan datang, Mama pasti akan mendorongku untuk puasa. Sepertinya Mama khawatir kalau kemuslimanku akan menipis karena tinggal di negara bule. Belum lagi besok-besoknya, Mama pasti akan menanyakan apakah aku pulang atau tidak. Memang sih, aku belum pernah pulang sekalipun untuk merayakan Lebaran selama bertahun-tahun aku mencari rejeki di sini karena bentrok dengan kerjaan dan sama sekali tidak bisa ambil cuti. Namun aku pasti akan menggantinya dengan menjenguk Mama di bulan-bulan berikutnya. Aku tahu Mama sangat mengharapkan aku pulang seperti impian seluruh orang tua di jagat raya ketika Idul Fitri tiba. Tapi aku punya kehidupan di sini. Pilihanku. Dan ketika Ramadan datang, terserah aku mau puasa atau tidak, toh aku sendiri yang mempertanggungjwabkan semuanya nanti. 

Ah, semua perasaan ini membuatku sesak. Aku segera menyeruput teh hijau yang sudah berubah status dari panas menjadi suam-suam kuku. Jarum jam menunjuk ke angka sebelas. Aku segera bersiap karena Yazid sudah janji akan mengantarku ke acara Open House kedutaan yang dimulai tengah hari hingga pukul tiga sore. Meski ini adalah kali pertama aku datang, ia bilang itu bisa menjadi pengganti suasana kampung halaman, setidaknya di sana aku akan bertemu orang-orang yang sebangsa denganku. 

Di tengah perjalanan, di balik kemudi, Yazid banyak bercerita tentang keluarganya yang sebagian besar berada di Tangier, sebuah kota turistik pinggir pantai yang sangat indah di Maroko. Kuperhatikan raut wajahnya sedikit berubah ketika ia bercerita tentang orang tuanya. 

"Kau mungkin bilang kalau kau adalah orang yang sangat tidak beruntung di dunia karena tidak bisa berkumpul menikmati Idul Fitri bersama orang tuamu. Maksudku, menikmati secara nyata, berdekatan, bersentuhan." ucapnya lalu menyalakan lampu sein karena ia harus belok ke kanan.

"Sekarang kukatakan kepadamu kalau kau lebih beruntung daripada aku. Aku memang bahagia bisa bertemu orang tuaku setiap Lebaran tiba, tetapi pertemuan itu hanya lewat jalur doa yang kukirim buat mereka. Jarak yang memisahkan aku dan mereka sudah abadi. Insha Allah doa-doaku sampai. Orang tuaku sudah tidak ada, Nina. Mereka yang kusebut sebagai orang tua sekarang adalah orangtua angkatku. Mereka sangat sayang padaku tetapi tidak pernah menggerakkan aku agar aku menjadi lebih baik lagi, apalagi mengingatkanku untuk menjenguk saudara-saudaraku di Maroko sana. Tidak pernah. Mereka melepasku. Namun aku bukanlah seseorang yang tidak tahu diuntung. Aku mencintai mereka dan selalu berterimakasih sudah mengasuhku sebagai anak di mana segala kebutuhanku selalu terpenuhi." lanjutnya. Sampai di situ Yazid tidak melanjutkan ceritanya. Kurasa ia membiarkan aku membuat kesimpulan sendiri. Bayang-bayang Mama kemudian timbul di hadapanku bersama pertanyaan yang sama tiap Ramadan tiba,

"Lebaran nanti kamu bisa pulang, gak Nin?" tanya Mama seminggu setelah puasa berjalan. 

"Belum bisa, Ma, gak bisa cuti. Gak ada slot.” jawabku.

“Semalam Mama inget sewaktu kamu masih kecil dan Mama mengajakmu membeli baju Lebaran. Kamu pasti memilih kaos yang bergambar bunga-bunga. Namun setelah kamu remaja kamu lebih suka yang simpel, yang polos-polos. Rasanya cepat sekali waktu berlalu. Kayaknya baru kemarin kamu masih berkumpul di sini di samping Mama ketika Lebaran, sholat Ied bareng, makan ketupat, Mama inget kamu tidak pernah mau memakan sayurnya cuma mengambil kuahnya aja. Ketupat, kuah sayur dan rendang daging.” Mama berucap lirih. 

Aku mengerti, ia sangat berharap aku pulang. Aku pun tahu, seorang ibu tidak akan pernah mau membebani anaknya. Dan aku pun sungguh memahami, kata-kata Mama yang seperti ini adalah sebuah harap-harap cemas agar aku pulang, rangkaian kalimatnya tadi adalah sebuah ungkapan kerinduannya akan aku, anak yang hanya tinggal satu-satunya setelah Papa dan adikku tewas seketika dalam sebuah peristiwa perampokan, beberapa hari sebelum Lebaran, beberapa tahun silam. 

Jujur saja, beberapa bulan setelah pemakaman mereka, aku sudah malas menjalani hidup. Rumah terasa kosong, tidak lengkap lagi. Apalagi saudara-saudaraku hanya datang menjenguk jika ada maunya saja alias minta atau minjem duit. Sejak saat itu pulalah, ketika aku lulus mendapat gelar sarjana, aku segera memberanikan diri melamar kerja di luar negeri agar bisa mencari kehidupan baru. Aku beruntung dibantu oleh salah seorang kenalanku yang bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah bandara di luar kota Paris yang akhirnya mengantarkan aku kepada sebuah peluang untuk mengikuti sekolah pelatihan menjadi petugas Air Traffic Controller. 

Kehidupanku di sini bukanlah seperti sulap yang tiba-tiba langsung menjadi indah. Di awal-awal kedatanganku, aku lebih dulu bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran kecil pinggiran kota yang hanya buka pada malam hari. Setelah mereka tidak membutuhkanku lagi, aku mendapat pekerjaan sebagai tukang sapu di sebuah salon potong rambut ternama di pusat kota Paris yang terkadang kliennya adalah kaum jetset dan selebritis Prancis. Aku menikmati alur-alur kehidupanku yang seperti itu. Setelah aku settle dengan pekerjaanku sebagai staff Air Traffic Controller, aku meminta Mama untuk tinggal di sini bersamaku namun usulanku selalu ditolaknya halus. Sampai akhirnya aku menyerah untuk memintanya lagi.

"Oh, aku lupa. Ibuku membuatkan tajine ayam ala Maroko untukmu. Ia bilang, masakannya itu khusus untuk seorang wanita tercantik yang pernah ia lihat." suara Yazid tiba-tiba mengagetkanku. Aku terbangun dari lamunanku dan menyadari kalau Yazid sudah memarkir mobil Renault Twingo hitamnya beberapa langkah dari gedung tempat acara Open House berlangsung.

"Tajine-nya kutaruh di jok belakang. Kakak perempuanku, Nawel juga membuatkanmu Feqqas, kue kering asal Maroko. Bahan-bahannya simpel. Cuma dengan telur, tepung, baking powder dan gula. Terkadang kami menambahkannya dengan kismis atau kacang almond. Pasangannya yang paling pas adalah segelas mint tea." ia menjelaskan bak acara masak-memasak di televisi. Kutengok sebentar kursi belakang di mana Yazid menaruh kue dan masakan buatan keluarganya untukku. "Terima kasih untuk perhatian mereka padaku." ucapku sambil memandang Yazid dalam-dalam. Ia memang seorang pria yang baik.

Ia nampak sangat tampan dengan jins biru tua dipadukan kaos berwarna putih polos dibungkus sebuah blazer casual abu-abu, benar-benar matching dengan warna kulitnya yang cokelat susu. Hari itu, rambutnya yang gondrong tanggung diberi gel sehingga tampilannya terlihat klimis manis berpadu serasi dengan kedua lesung pipit yang samar-samar tertutup jenggot tipisnya yang selalu menambah seleraku untuk terus menatap di kala ia tersenyum. "Ketupatmu sudah menunggu. Kau masih bisa menatapku sembari makan kok." candanya lalu menyentuh lembut pipi kananku. Kami pun tertawa.

Open House yang digelar di sebuah tempat bernama Wisma Duta, beberapa menit dari kota Paris itu mampu menyedot masyarakat Indonesia untuk datang, kurasa mereka punya tujuan yang sama denganku, memangsa sang ketupat tersohor yang menjadi santapan langka di sini ketika Idul Fitri tiba. Ketika masuk, aku disambut Bu Jefri yang memang sudah sering melihatku wara-wiri di kedutaan ketika mengurus paspor, membeli makanan di kantin atau sekedar menemani kenalan-kenalanku untuk mengurus long-stay visa ke Indonesia.

"Wah kejutan nih, mbak Nina datang ke Open House. Menggandeng sang pangeran juga!" serunya girang. Aku tertawa mendengarnya. 

"Namanya Yazid, Bu, bukan pangeran." ujarku sambil melirik Yazid yang hanya senyam-senyum.

"Mau makan ketupat kan pastinya? Nggak apa-apa nggak mudik kali ini. Ketupatnya rasanya sama kok kayak di tanah air." ucapnya sambil mengambil piring dan ketupat yang telah dipotong-potong. Setelah mengucapkan terima kasih, aku dan Yazid segera duduk di salah satu sudut halaman. Mendengar kata mudik yang diucapkan Bu Jefri tadi membuat pikiranku kembali mengembara mengingat ucapan Mama pada malam-malam Ramadan kemarin. 

"Ya sudah, gak apa-apa kalau Lebaran nanti gak bisa pulang. Kan hari lain bisa pulang. Seperti tahun-tahun lalu. Cuma kalau pulang kan lebih baik, karena suasananya beda, Nin." ucapnya pasrah. 

Kala itu aku tahu kalau ucapannya hanyalah untuk menghibur dirinya karena ia tahu aku tidak bisa pulang Lebaran ini. Andaikan kau tahu, Ma, meski aku telah pergi jauh darimu, aku akan terus menjadi puteri kecilmu yang kegirangan ketika akan dibelikan baju baru menjelang Lebaran. Aku akan selalu menjadi anak remajamu yang selalu membantumu memasukkan butiran-butiran beras ke dalam kulit ketupat meski akhirnya ketupatnya bantet karena aku tidak tahu bagaimana menakarnya. Sungguh aku kangen dengan masa-masa itu. Apalagi ketika malam takbir tiba, setelah Isya, kau kelimpungan mencariku padahal aku hanya duduk di atas genteng memandang langit sambil meresapi alunan-alunan takbir di dalam dekapan gelap malam. Dan yang paling sulit buatmu adalah membangunkan aku di pagi hari untuk sholat Ied di lapangan RW belakang rumah. Aku yang tidur terlalu malam karena tenggelam dalam kekonyolan bacaan Lupus karya bang Hilman, entah itu edisi Topi-topi Centil atau Tangkaplah Daku Kau Kujitak, menjadi sulit membuka mata yang kadang membuat kita sekeluarga hampir terlambat, tapi kau akan sabar menungguku bahkan masih sempat-sempatnya membelaku di antara omelan Papa. Setelah sholat Ied dan ceramah Idul Fitri selesai, aku akan menggamit lalu mencium tanganmu yang dulu mengurus dan menjagaku. Saat itu aku merasa sebagai seorang anak terburuk di alam semesta. Dulu aku tidak mudah menitikkan air mata ketika melakukan itu tetapi ketika aku sudah mapan dan berada ribuan mil jauhnya darimu, saat itulah aku sadar bahwa betapa kau mencintaiku, betapa kau tidak mau kehilanganku, betapa kau khawatir atas segala apa yang sedang aku lakukan. Dan air mata ini tidak segan-segan jatuh dengan sendirinya dikala merindukanmu.

"Mbak Nina, silakan dimakan ketupatnya. Sayurnya mumpung masih panas." suara Bu Jefri membabat habis lamunanku.

"I..iya Bu Jefri. Makasih." sahutku.

Aku memandang piring berisi ketupat yang sudah kusirami dengan kuah sayur labusiam bertabur potongan rendang daging. Kulihat wanita paruh baya itu kembali tenggelam dalam percakapan dengan wanita-wanita seusianya. Sesekali terdengar ledakan tawa mereka. Benar, Ma, hanya ketupat, kuah sayur dan rendang, gumamku dalam hati. Yazid yang berada di hadapanku tersenyum kecil. Sepertinya ia tahu kalau aku sedang berlomba di sebuah lintasan kenangan yang tidak akan pernah mencapai garis finish. Tak lama, ia segera memasukkan sepotong ketupat ke mulutnya. 

"Kurasa, Idul Fitri tahun depan masakan ini akan kusajikan untuk keluargaku juga, ini bisa menjadi pasangan si Tajine." ujarnya sembari mengerlingkan mata penuh makna. Aku hanya tertawa kecil. Kulihat kembali Bu Jefri yang masih asyik bercerita bersama kerabat-kerabatnya. Sepertinya kusaksikan gambaran Mama yang juga suka ngobrol seperti itu bersama ibu-ibu tetangga di lingkungan rumah. 

Kulirik jam tanganku. Pukul satu siang yang berarti sudah jam enam sore di Jakarta. Selamat berbuka puasa, Ma. Saat ini genderang takbir pasti tengah bertalu-talu. Semalam aku tidak bisa mendengarnya, tidak ada suara-suara takbir yang bergema di angkasa seperti di sana yang sepertinya tak sabar menyongsong hari kemenangan. Meski tahun ini aku tidak bisa pulang, kau pasti tahu kalau aku ingin sekali bersimpuh, mencium tanganmu di pesta esok. Dan di dalam setiap desah nafas ini, di tiap-tiap kunyahan ketupat dengan kuah sayurnya yang tak selezat racikan tanganmu, di antara langkah-langkah menuju tempat sholat Ied yang tak kurasakan segembira ketika melangkah bersamamu, rindu ini kuterbangkan dengan sayap-sayapnya yang kokoh penuh doa beserta permohonan maaf atas segala kesalahan-kesalahan dan kekhilafanku. Selamat Idul Fitri, Mama.

***

Prancis, 4 Juni 2019

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1440 H buat teman-teman Kompasianer, mohon maaf lahir batin, mohon maaf jika ada vote beserta komentar-komentar saya yang melukai hati. 

Maher Zain
"Thank You Allah"
Album : Thank You Allah (2009)
Lirik : Maher Zain, Bara Kherigi
Label : Awakening Records

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun