Mohon tunggu...
Derajat Fitra
Derajat Fitra Mohon Tunggu... Guru - Masih belajar

Iman-Ilmu-Amal

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bekal untuk Para Pembelajar Muslim

11 Juni 2020   20:01 Diperbarui: 11 Juni 2020   20:16 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/bugyptian

Peradaban Barat telah membawa kemajuan dalam ilmu pengetahuan sains dan teknologi. Ilmu pengetahuan sains dan teknologi yang dipahami dan disebarkan oleh peradaban Barat pun turut mempengaruhi cara-cara berpikir beberapa sarjana dan cendekiawan Muslim yang terlalu terpesona dengan kemajuan tersebut. 

Mereka menilai dan meyakini bahwa keseluruhan ilmu pengetahuan Barat haruslah diserap oleh umat Islam sebab dianggap berguna. Beberapa tokoh pembaharu Islam seperti Sayyid Ahmad Khan dari India dan Thaha Hussein dari Mesir.

Bahkan mengupayakan interpretasi ulang terhadap agama Islam secara intelektual agar supaya umat Islam dapat mengakomodasikan perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di Barat. Mereka tidak menyadari bahwa virus sekularisasi yang terkandung dalam ilmu pengetahuan Barat merupakan tantangan paling besar bagi umat Islam saat ini.

Barat yang dimaksud dalam hal ini bukanlah Barat dalam pengertian sebagai salah satu arah mata angin atau letak geografis wilayah tertentu, melainkan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syed Muhammad Naquib Al Attas, yakni peradaban yang mencerminkan falsafah atau pandangan hidup, yang berkembang dari percampuran historis berbagai kebudayaan, filsafat, nilai, dan aspirasi Yunani dan Romawi kuno, ajaran Yahudi dan Kristen, dan tradisi bangsa-bangsa seperti bangsa Latin, German, Celtik, Nordik, dan sebagainya.

Menurut Pakar  Filsafat Islam, Syed Muhammad Naquib Al Attas, peradaban Barat telah membuat ilmu menjadi problematis. Meskipun telah menghasilkan ilmu pengetahuan sains dan teknologi yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan permasalahan dalam kehidupan manusia. 

Permasalahan yang paling mendasar adalah menyebabkan kebingungan dan kekeliruan di kalangan umat Islam dalam memahami ilmu pengetahuan. Ilmu yang dipahami dan disebarkan oleh peradaban Barat, yang merefleksikan watak dan kepribadian, atau unsur-unsur kebudayaan, filsafat, dan nilai-nilai peradaban Barat, secara keseluruhannya tanpa sadar seringkali dianggap merupakan ilmu pengetahuan yang sebenarnya.


Padahal, ilmu pengetahuan Barat tidak dibangun di atas dasar wahyu dan keimanan dalam agama, melainkan berdasarkan pada tradisi kebudayaan dan filsafat yang berangkat dari spekulasi sekular, yang berpusat pada manusia sebagai makhluk rasional. 

Dalam filsafat sekular, tidaklah ada suatu ukuran yang berada di luar filsafat, yang bisa dipakai untuk menetapkan kebenaran dan kekekalan filsafat itu. 

Suatu objek yang tetap ataupun suatu cara yang tetap, yang merupakan dasar bagi alam pikiran filsafat tidak ada pula. Bahkan ia tak memiliki pengertian yang tetap tentang dirinya sendiri. Sebentar waktu ia mengatakan kebenarannya seperti ini, sebentar waktu yang lain ia mengatakan kebenarannya seperti itu. 

Dengan demikian, filsafat Barat sejatinya hanya akan membawa manusia pada kebingungan dalam menentukan kebenaran ilmu secara pasti. Kebenaran absolute dinegasikan dan nilai-nilai kebenaran direlatifkan seperti skeptisisme dan relativisme yang muncul di kalangan orang-orang sophis di era Yunani Kuno itu atau di kalangan post-modernis di era dewasa ini.

Salah satu perbedaan mendasar di antara posisi pemikiran kita sebagai umat Islam, dengan pemikiran yang lahir dari rahim kebudayaan Barat modern, adalah berkisar pada pemahaman tentang makna realitas dan kebenaran, dan hubungan keduanya dengan fakta. Filsafat dan ilmu pengetahuan sains yang diacu oleh kebudayaan atau peradaban Barat mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pemahaman tentang Tuhan, alam, ilmu, nilai-nilai, dan akhirnya terhadap pemahaman tentang hakikat manusia itu sendiri.

Kritik terhadap filsafat dan sains Barat modern salah satunya telah dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas, seorang pemikir Islam kontemporer yang memiliki perhatian khusus terhadap ilmu pengetahuan. 

Al-Attas mengatakan bahwa tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam pada zaman kita sekarang adalah tantangan ilmu pengetahuan. 

Namun, ilmu yang dimaksudkan dalam hal ini, bukan hanya sebagai lawan dari kebodohan, yang dapat dengan mudah dibetulkan melalui program pendidikan, tetapi juga ilmu yang dipahami dan disebar luaskan ke seluruh dunia oleh pandangan hidup (Western Worldview) peradaban Barat.

Filsafat Barat modern telah menjadikan ilmu pengetahuan sains sebagai penafsir dan pengatur hasil-hasil sains alam dan sosial ke dalam suatu pandangan hidup. 

Penafsiran ini pada gilirannya dibangun dan diarahkan dalam kerangka epistemologi sekular yang mereka anggap sebagai satu-satunya penafsir ilmu pengetahuan yang otentik. 

Dalam kerangka pandangan ini segala sesuatu ditafsirkan sebagai suatu pengembangan dari potensi terpendam dari materi yang abadi, atau alam dipandang sebagai realitas yang tidak bergantung pada apapun, berdiri sendiri, dan berkembang menurut hukumnya sendiri. Artinya, penolakan terhadap realitas dan keberadaan Tuhan terkandung di dalam pandangan ini. 

Adapun metodenya secara umum adalah menolak sumber ilmu yang bersifat metafisis dan membatasi ilmu hanya berdasarkan pada rasio dan pengalaman indrawi semata.

Pandangan ilmu pengetahuan sains tersebut pada akhirnya mereduksi daya dan kemampuan akal pikiran dan indra hanya kepada lingkup realitas lahiriah saja. 

Ilmu dianggap absah hanya jika terkait dengan tatanan peristiwa-peristiwa alam fisik dan hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya; dan tujuan penelitian hanyalah untuk menggambarkan dan mensistematisasi apa yang terjadi di alam, yaitu seluruh objek-objek dan kejadian-kejadian di dalam ruang dan waktu. 

Alam semesta diungkapkan dalam istilah-istilah rasional, yang dikosongkan dari makna ruhaniah dan karenanya mereduksi asal-usul realitas semata-mata pada kekuatan-kekuatan fisik alamiah semata.

Konsep ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam memiliki persamaan dan perbedaan dengan konsep ilmu pengetahuan atau sains dalam peradaban Barat sakular. 

Baik Islam maupun Barat sama-sama menggunakan pancaindra dan akal sebagai alat atau sumber ilmu pengetahuan. Perbedaan utamanya terletak pada asumsi dasar keduanya, yang mana asumsi dasar itu dipengaruhi oleh unsur-unsur pokok atau konsep-konsep kunci dalam pandangan hidup masing-masing, seperti konsep alam, manusia, ilmu, nilai dan sebagainya. 

Islam menggabungkan pendekatan rasionalisme dan empirisme dengan tambahan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode rasional-empiris semata.

Dalam Islam, epistemologi atau segala sesuatu yang membahas ilmu secara menyeluruh dan mendasar berkait erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang terumuskan sejalan dengan wahyu, hadits, akal, intuisi, dan pengalaman. 

Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman atau tafaqquh terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep universal, permanen (tsawabit), dinamis (mutaghayyirat), pasti (muhkamat), samar-samar (mutasyabih),  fundamental (ushul), dan cabang-cabang (furu). 

Wahyu merupakan realitas bangunan konsep yang membawa pandangan hidup baru. Realitas bangunan konsep ini datang dari Tuhan sebagai Realitas dan Kebenaran Tertinggi dan Hakiki, dengan lafaz dan makna yang murni berasal dari-Nya, oleh-Nya, dengan kata-kata-Nya. 

Bukan konstruksi akal pikiran dan hasil imajinasi manusia maupun makhluk lainnya, melainkan adalah bukti yang mengandung bahasa dan logika yang sama untuk seluruh manusia jadikan sebagai instrumen untuk mencapai kebenaran dan realitas segala yang niscaya secara objektif dan pasti.

Dalam epistemologi Islam, telah digariskan bahwa untuk memperoleh ilmu pengetahuan terdapat tiga saluran utama, yaitu pancaindra yang baik, akal yang sehat, dan khabar yang benar. 

Ketiga saluran ilmu ini saling kuat memperkuat dan saling melengkapi, yang dapat diumpamakan seperti gugusan lidi yang jika berpadu menjadi kuat namun lemah ketika berpisahan. 

Epistemologi Islam secara keseluruhannya mengakui bahwa setiap satu dari ketiga saluran ilmu tersebut memiliki kedudukan dan peranannya masing-masing dalam usaha manusia menjadi berilmu. 

Bahkan dalam kerangka epistemologi tersebut manusia tidak akan terjebak dalam sikap atau gejala ekstrim dalam meninggikan salah satu dari ketiga saluran ilmu tersebut, sehingga tidak akan menimbulkan aliran-aliran ekstrim seperti rasionalisme, empirisisme, idealisme, materialisme, pragmatisme, relativisme, skeptisisme dan lain sebagainya. 

Pemahaman yang benar tentang saluran-saluran ilmu inilah yang menjadi bekal untuk para pembelajar Muslim untuk membentuk dasar dan kerangka asas dalam pendekatan dan metodologi penelitian atau pengkajian yang bersesuaian dengan ajaran Islam.

Kitab suci Al-Quran, yang merupakan sumber utama epistemologi Islam mengisyaratkan bahwa seluruh alam semesta dengan apa yang ada padanya adalah seperti ‘Buku’ yang agung dan terbuka untuk ditafsirkan dan dimengerti. 

Di dalam kitab suci Al-Quran pun banyak dinyatakan bahwa manusia yang memiliki kesungguhan, kecerdasan, kepahaman, ketajaman dan ilmu dengan saluran-saluran ilmu yang utama tersebut akan dapat memahami isi atau makna dari ‘Buku’ itu. Semua saluran ilmu yang utama tersebut adalah perangkat-perangkat untuk dimanfaatkan manusia dalam rangka menggapai kebenaran atau makna hakiki dari segala realitas yang niscaya.

Epistemologi Islam secara keseluruhannya mengakui bahwa setiap satu dari ketiga saluran ilmu tersebut memiliki kedudukan dan peranannya masing-masing dalam usaha manusia menjadi berilmu. 

Bahkan dalam kerangka epistemologi tersebut manusia tidak akan terjebak dalam sikap atau gejala ekstrim dalam meninggikan salah satu dari ketiga saluran ilmu tersebut, sehingga tidak akan menimbulkan aliran-aliran ekstrim seperti rasionalisme, empirisisme, idealisme, materialisme, pragmatisme, relativisme, skeptisisme dan lain sebagainya. 

Pemahaman yang benar tentang saluran-saluran ilmu inilah yang menjadi bekal bagi para pembelajar Muslim untuk membentuk dasar dan kerangka asas dalam pendekatan dan metodologi penelitian atau pengkajian yang bersesuaian dengan ajaran Islam.

Kitab suci Al-Quran sebagai sumber utama epistemologi Islam mengandung keterangan dengan pernyataan-pernyataan yang jelas bahwa seluruh alam semesta dan segala apa yang ada padanya bagaikan sebuah “Buku yang Agung” yang Allah ciptakan dan terbuka untuk dipahami. 

Kitab suci al-Quran pun memotivasi bahwa dengan segala kemampuan yang dimiliki dan keterbatasan yang ada padanya, setiap manusia normal yang memiliki bekal ilmu sesungguhnya akan dapat memahami ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat nafsiyah yang terkandung di dalam ‘Buku yang Agung’ itu. 

Ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah ataupun Hadits Nabi Saw., yang shahih sebagai penjelasan dan penguat Al-Qur’an tidak mungkin akan bertentangan dengan akal sehat dan dengan tanda-tanda kekuasaan Allah baik yang kauniyah maupun nafsiyah.

Selain itu, penting sekali diingat bahwa dalam pandangan Islam segala ilmu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk mendapatkannya tidak terlepas dari hidayah-Nya. 

Al Attas menjelaskan bahwa apabila merujuk kepada Allah sebagai pemberi aktif dan manusia sebagai penerima pasif, maka pengertian ilmu adalah “tibanya makna suatu perkara atau suatu objek ke dalam jiwa” (husul ma’nal-shay’ fi’l-nafs). Sedangkan apabila merujuk kepada jiwa selaku penerima aktif, ilmu adalah “tibanya jiwa kepada makna suatu perkara.” (wusul al-nafs ila ma’nal-shay). 

Dengan demikian, dalam proses mencari ilmu, manusia selalu berkaitan dengan proses aktif dan proses pasif. Aktif menuntut ilmu dan memperoleh ilmu secara pasif berkat anugerah dari Allah. 

Jadi, proses merail ilmu tidak semua harus selalu diupayakan melalui proses belajar biasa, seperti membaca, menulis, berdiskusi, atau menyimak guru, tetapi juga bisa dengan bersungguh-sungguh mengikhlaskan diri dalam beribadah kepada-Nya dan dalam menjalankan peran sebagai khalifah-Nya sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya.

Kebenaran Islam telah sempurna, final, dan universal. Islam tidak tunduk pada perenungan manusia, perubahan zaman, tempat maupun budaya. Bagi kita sebagai Muslim yang menyadari kewajiban menuntut ilmu dan memerlukan penjelasan ilmu yang pasti tentang agama dan inspirasi ilmu sains alam, sosial dan teknologi.

Telah ada sumber ilmu yang tetap dan bimbingan para otoritas keilmuan Islam, sejak dari Nabi Saw., para sahabat Nabi, ulama tabiin, tabiut tabiin hingga para ulama penegak kebenaran sepanjang zaman, tanpa kehilangan cara berpikir rasional dan saintifik. 

Dalam Islam kita tidak akan mengalami kebingungan dan kekacauan pemikiran serta kehidupan seperti dalam relativisme, skeptisisme, sophisme, nihilisme dan lain sebagainya hingga akhir zaman.

Dengan spirit ‘wahyu memandu akal dan ilmu’, setiap manusia yang berakal sehat dengan segala kemampuan yang dimiliki dan keterbatasan yang ada padanya, sesungguhnya dapat mengenal dan mengakui kebenaran secara mutlak serta dapat menggapai kebebasan dan kebahagiaan sejati yang didambakannya. 

Tentunya dengan kerangka pemikiran yang menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pedoman utama, dan khazanah keilmuan Islam yang terbentang sejak dari zaman Nabi Muhammad Saw., para sahabat, tabiin, tabiut-tabiin serta para ulama yang ikhlas dan taat menjalankan serta memperjuangkan agama Islam pada zaman sekarang hingga akhir zaman sebagai tuntunan. Wallahu’alam bi as-Shawwab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun