Setiap perjalanan selalu meninggalkan jejak. Perjalanan saya sebagai mahasiswa diaspora Indonesia di Turki justru mengukir pertanyaan baru yang sebelumnya jarang saya pikirkan. Pertanyaan itu sederhana: Apa yang membedakan negara-negara maju dengan negara berkembang seperti Indonesia? Apakah hanya soal sumber daya alam? Ataukah ada faktor lain yang lebih mendasar?
Pertanyaan itu mulai tumbuh dalam diri saya sejak salah satu sesi kelas membahas tentang peran entrepreneurship dalam perekonomian global. Dari situ saya mulai paham - kemajuan sebuah negara tidak hanya diukur dari kekayaan sumber dayanya. Tetapi lebih pada hal mendasar - seberapa banyak masyarakatnya yang berani menciptakan, mengatasi masalah dan menghadirkan solusi melalui inovasi dan kewirausahaan.
Hidup di Turki membuat saya semakin memahami logika itu. Negara ini, meski tidak sekuat ekonomi besar Eropa. Tetapi sadar betul bahwa ketahanan masa depan tidak bisa hanya bergantung pada ekspor-impor atau industri konvensional. Pemerintah aktif mendorong lahirnya entrepreneur muda, bukan dengan wacana semata, melainkan dengan sistem pendukung yang konkret seperti TUBTAK. Lembaga ini menyediakan pendanaan hibah, bimbingan dan akses riset bagi mahasiswa dan inovator muda agar berani mengubah ide mereka menjadi solusi nyata - baik dalam bentuk produk, startup maupun riset terapan.
Turki memahami bahwa mencetak sarjana saja tidak cukup. Negara ini ingin mencetak pencipta.
Refleksi saya kemudian semakin dalam saat membandingkan dengan contoh-contoh lain di dunia. Misalnya Amerika Serikat, entrepreneurship bukan sekadar pilihan karier, melainkan budaya hidup. Banyak perusahaan teknologi global yang hari ini kita kenal seperti Facebook, Apple dan Google - semuanya berawal dari ruang kecil, dari keresahan personal, dari orang-orang yang berani bertanya: kenapa tidak ada solusi yang lebih baik? Dari keberanian bertanya dan mencoba, akhirnya lahirlah inovasi yang mengubah dunia.
Begitu pula dengan Singapura, sebuah negara kecil tanpa sumber daya alam. Namun dengan kesadaran, berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu pusat bisnis dan teknologi Asia. Shopee, Grab dan startup-startup besar lain yang kini mendominasi Asia Tenggara. Mereka besar dan lahir di Singapura karena ekosistemnya mendukung pertumbuhan entrepreneur. Mulai dari akses pendanaan, inkubasi bisnis hingga kebijakan pajak yang memudahkan usaha rintisan berkembang.
Melihat kenyataan ini, saya semakin yakin bahwa entrepreneurship bukan sekadar soal bisnis besar, apalagi hanya soal keuntungan finansial. Di Indonesia, kita juga melihat benih-benih semangat itu melalui social entrepreneurship seperti Kitabisa.com. Platform yang berawal dari keresahan atas sulitnya proses donasi dan gotong royong di era digital. Dari sebuah gagasan sederhana, Kitabisa berkembang menjadi ekosistem sosial yang membuka lapangan kerja, memperkuat solidaritas masyarakat dan menciptakan model bisnis yang etis sekaligus berdaya guna.
Data dari Global Entrepreneurship Monitor (GEM) 2023 semakin memperjelas refleksi ini. Negara-negara maju rata-rata memiliki rasio entrepreneur di atas 10--15% dari populasi usia produktif. Amerika Serikat memiliki entrepreneur dengan angka 16,5%. Di Singapura, angka ini juga sangat kompetitif dan bahkan sebagian besar pengusaha digital di Asia Tenggara lahir dari negara kecil itu. Sementara di Indonesia, angka entrepreneurship baru berkisar di 3,31% - sebuah jarak yang menunjukkan pekerjaan rumah besar sekaligus peluang yang sangat lebar.
Dari Turki saya belajar, negara maju tidak dibangun semata-mata oleh banyaknya sumber daya alam dan manusianya. Melainkan oleh banyaknya masyarakat yang berani berpikir sebagai pencipta. Negara hadir sebagai enabler, tapi manusialah yang menentukan masa depan.
Sebagai mahasiswa, kita sering kali hanya terjebak dalam rutinitas akademik, mengejar nilai dan berharap pada jaminan pekerjaan setelah lulus. Namun dunia terus bergerak. Negara-negara maju mendapatkan kemajuannya bukan karena mereka punya lebih banyak waktu, tetapi karena mereka lebih banyak berani mencoba.