Dalam budaya Indonesia, "rasa malu"adalah tanda seseorang masih memiliki sopan santun dan harga diri. Sejak kecil kita diajarkan untuk tahu batas — malu jika berkata kasar, berpakaian tidak pantas, atau berbuat sesuatu yang mempermalukan keluarga. Dulu, rasa malu menjadi benteng moral yang menjaga kehormatan diri dan nama baik.
Namun, kini nilai itu mulai memudar, terutama sejak hadirnya "Facebook Pro" dan media sosial lain yang memberi ruang besar bagi siapa pun untuk tampil di depan publik. Banyak orang kini berani melakukan hal-hal memalukan hanya demi tontonan. Nilai malu yang dulu dijunjung tinggi, perlahan digantikan oleh keinginan untuk viral dan populer.
Sistem Facebook Pro yang Menggiurkan
Facebook Pro memberikan kesempatan bagi penggunanya "untuk menghasilkan uang dari jumlah tayangan dan interaksi pada konten." Artinya, semakin banyak penonton dan komentar, semakin besar pula pendapatan.
Sayangnya, sistem ini sering kali membuat orang terdorong membuat "konten ekstrem, sensasional, bahkan tak pantas", karena video semacam itu lebih cepat menarik perhatian publik.
Walau Facebook tidak secara langsung mendorong perilaku demikian, "algoritma platform ini memberi keuntungan bagi konten yang ramai ditonton", bukan yang bermutu atau beretika. Akibatnya, perhatian publik kini menjadi "alat tukar baru" — menggantikan nilai moral yang dulu menjadi pegangan hidup.
Akar Hilangnya Rasa Malu di Dunia Digital
Fenomena pudarnya rasa malu ini muncul karena beberapa hal:
1. Terbiasa melihat hal tak pantas
  Semakin sering orang disuguhi konten vulgar, kasar, atau berlebihan, semakin tumpul pula rasa malunya. Hal yang dulu dianggap memalukan, kini dianggap biasa.
2. Budaya ikut-ikutan
  Melihat orang lain terkenal karena konten ekstrem membuat sebagian orang berpikir bahwa cara itu sah-sah saja. Padahal, popularitas seperti itu sering kali berumur pendek dan berisiko.
3. Tekanan ekonomi
  Tidak sedikit orang yang nekat membuat konten memalukan karena tergiur penghasilan dari Facebook Pro. Demi uang, rasa malu pun dikorbankan.
4. Perasaan aman di dunia maya
  Karena bersembunyi di balik layar, banyak pengguna merasa tindakannya tidak akan menimbulkan konsekuensi nyata, sehingga lebih berani bertingkah tanpa kontrol.