Mohon tunggu...
Deny Kristianto
Deny Kristianto Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan -

Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menalar Pemilu, Bagaimana Mungkin Kita Tidak Golput?

28 Maret 2019   05:59 Diperbarui: 28 Maret 2019   06:09 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya barat dengan budaya timur-[tengah], budaya asing dengan budaya pribumi, budaya nalar dengan budaya kedunguan dan budaya partisan dengan budaya golput. Akan tetapi ada satu sisi yang lebih miris dari itu semua budaya itu yaitu budaya pembodohan. 

Artinya, dengan seolah gaya berpolitik modern (termasuk golput) tapi justru malah mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan bodoh. Tindakan fanatik sempit, intoleran, penggunaan isu SARA demi angka elektoral, hingga hilangnya persaudaraaan gegara pemilu. 

Akhirnya, golput bukan lagi karena kita melawan, bukan lagi karena kita tahu mana yang terbaik diantara yang terburuk, justru karena kebodohan. Jadi golput memang sebuah kebodohan. Kebodohan yang dimaksud berupa ketidakmampuan untuk mengakses informasi secara benar, lengkap, dan valid, menafsirkannya dengan akal sehat, dan menentukan pilihan berdasarkan hasil pemikiran logis. 

Golput tidaklah dungu atau bodoh sejak lahir, tapi mereka lebih kepada golongan yang sengaja di buat bodoh oleh golongan berkepentingan lainnya. Bertebarannya hoax, fitnah, tuduhan, rancunya sosialisasi pemilu oleh KPU, suburnya ujaran kebencian, bisingnya isu-isu pemilu dan keberpihakan media massa utama pada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden membuat kita muak! 

Akhirnya memilih tidak mau tau, dan berakhir dengan kebodohan (tidak mau dan atau mampu menentukan pilihan). Bagaimana mungkin?

Untuk menjawab pertanyaan, "Bagaimana mungkin kita tidak golput?" Kita perlu melihat hubungan kita dengan pemilu. Jadi, pemilu sedang kita apakan sejauh ini kok ya sampai ada yang begitu nafsu dalam memberi dukungan kepada calon atau pasangan calon kontestan pemilu. 

Sudah seharusnya pemilu kita anggap sebagai sesuatu yang "suci" dalam sistem demokrasi tapi faktanya kita sendiri tega memperkosanya. Pemerkosaan pemilu legislatif oleh arus isu-isu utama pemilu presiden adalah bukti nyata bahwa kita sedang dibodohkan oleh sistem yang kita ciptakan sendiri. 

Kegaduhan para pendukung kedua capres-cawapres membutakan perhatian kita terhadap mereka yang akan dipilih untuk menduduki kursi legislatif. Saking ramainya bahasan Jokowi Vs Prabowo di semua saluran media, sebagian besar kita akhirnya melalaikan tetangga satu kampung yang nyaleg. 

Selanjutnya, kita dapat melihat bagaimana prosesnya bagaimana mungkin tidak golput. Pertama, bangsa kita ngaku modern dan ya, sudah cukup maju dalam penggunaan teknologi nyatanya karakter politiknya masih feodal. Mengapa? 

Sebab pemahaman konstitusional (tentang UUD 1945) kita masih latah Orba dimana seolah presiden masih lebih tinggi kedudukannya dibanding legislatif (DPR) masih diperlakukan seperti raja. Perlu dicatat baik-baik bahwa DPR-MPR, Presiden, dan MA-MK, berkedudukan sama. 

Lalu mengapa pemilihan presiden seolah lebih penting bahkan cenderung fanatis dibanding pemilihan legislatif? Memangnya presiden itu menentukan kebijakan tidak dengan persetujuan DPR? Mesake sekali akal sehatmu, bhosque. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun