Fealy membahas fenomena “Islam konsumtif” di mana kesalehan (piety) berubah menjadi bagian dari budaya konsumsi dan gaya hidup.
Masyarakat kota membeli busana syar’i, kosmetik halal, wisata religi, sinetron Islami, dan berbagai produk dengan label “syariah” untuk menunjukkan identitas keislaman mereka.
Fenomena ini menandakan munculnya kelas menengah Muslim baru yang religius tetapi juga modern dan konsumtif.
Islam di sini bukan hanya nilai moral, tapi juga simbol status sosial dan gaya hidup sukses.
2. Martin van Bruinessen Traditionalist and Islamist Pesantren in Contemporary Indonesia
Van Bruinessen meneliti perubahan dunia pesantren. Ia menemukan dua arah besar:
- Pesantren tradisional (NU) yang masih berpegang pada fiqh klasik, kitab kuning, dan tarekat.
- Pesantren modern/Islamis yang terinspirasi oleh gerakan global seperti Ikhwanul Muslimin dan Salafi.
Pesantren kini tidak hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga arena persaingan ideologi antara Islam tradisional, modernis, dan radikal.
Meski begitu, pesantren masih menjadi benteng moral dan kultural Islam Nusantara.
3. Robert W. Hefner Islamic Politics and Democratic Deepening
Hefner berpendapat bahwa Islam dan demokrasi di Indonesia saling menguatkan.
Islam tidak menolak demokrasi, karena nilai-nilai seperti keadilan (adl), musyawarah (syura), dan tanggung jawab (amanah) sejalan dengan prinsip demokrasi.
Namun, Hefner juga mengingatkan adanya tantangan dari kelompok Islam eksklusif yang menginginkan penerapan hukum Islam secara formal (syariat total).
Meski demikian, Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi Muslim paling berhasil di dunia.
Bagian II – Islam dan Kehidupan Sosial-Budaya
4. Noorhaidi Hasan – The Making of Public Islam
Hasan memperkenalkan konsep “Islam Publik” (Public Islam).
Sejak era 1990-an, dakwah dan ekspresi keislaman mulai masuk ke ruang publik lewat televisi, internet, musik, film, dan media sosial.