Ini contoh berita LSI Denny JA, tanggal 4 Juni 2025 yang dimuat harian Kompas. "Survei LSI Denny JA: Mayoritas Warga Merasa Sembako Makin Mahal pada Era Prabowo-Gibran" (1).
Lebih dari separuh rakyat Indonesia mengeluhkan sulitnya lapangan kerja dan merosotnya daya beli.
Dua titik keresahan itu---lapangan kerja dan daya beli---menjadi pemantik awal. Ia ibarat getaran kecil pada seismograf politik, tanda bahwa tanah sosial sedang rapuh, siap merekah kapan saja menjadi keretakan besar.
Ilmu pengetahuan sudah memberi tanda. Hasil survei opini publik dua bulan sebelumnya sudah memberi petunjuk.
-000-
Sidney Tarrow dalam magnum opus Power in Movement (1994; revisi 2011) menjelaskan bahwa aksi protes tidak lahir dari ruang hampa. Ia bukan ledakan acak, bukan sekadar amarah spontan.
Protes adalah akumulasi panjang: keresahan yang menumpuk, identitas kolektif yang tumbuh, dan celah politik yang membuka peluang.Â
Tarrow menyebutnya opportunity structures. Orang rela turun ke jalan, meski risiko ditangkap dan dipukuli, karena mereka melihat secercah kemungkinan bahwa aksi mereka bisa berhasil.
Setiap bangsa, kata Tarrow, juga memiliki repertoar kolektif: cara khas untuk melawan.Â
Di Yogyakarta, aksi diam sambil membawa lilin menjadi simbol. Di Jakarta, long march buruh menyesaki Thamrin. Di Makassar, massa kampus bergandengan dengan unsur masyarakat lain.
Kini, di era digital, repertoar itu makin berlapis: dari petisi daring, hashtag activism, hingga boikot konsumen. Dan seperti gelombang laut, protes juga bergerak dalam siklus: kebangkitan, puncak, lalu kemunduran.