Mohon tunggu...
Denny_JA Fanpage
Denny_JA Fanpage Mohon Tunggu... Akun dikelola oleh fanpage Denny Ja

Kumpulan Esai Denny Ja soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku film dan lagu.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Merebaknya Aksi Protes Dari Peringatan Dini Ilmu Pengetahuan

9 September 2025   07:08 Diperbarui: 9 September 2025   07:08 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : dennyja.world

Oleh Denny JA

Pada malam yang panas di akhir Agustus 2025, seorang sopir ojol di Makassar menutup aplikasinya dengan tangan gemetar.

Hari itu ia hanya mendapat tujuh order. Ini jauh di bawah rata-rata. Harga beras di pasar naik tajam. Cicilan motornya menumpuk.

Kabar terakhir dari grup WhatsApp rekan-rekannya membuat dadanya sesak: akan ada aksi besar di depan kantor DPRD.

"Kalau kita diam, kita habis," tulis seorang temannya.

Di jalan-jalan kota yang sejak lama dikenal sebagai jantung perdagangan rempah, lampu-lampu neon berkedip di atas wajah-wajah lelah. 

Ia tahu. Ini bukan lagi sekadar soal ongkos ojek atau harga bensin. Ini soal martabat hidup. Dan ketika massa mulai turun ke jalan, ia sadar: keresahan yang ia simpan selama berbulan-bulan ternyata juga dirasakan banyak orang lain.

-000-

Kisah di atas tidak berdiri sendiri. Dua bulan sebelumnya, 4 Juni 2025, LSI Denny JA merilis survei opini publik. Jejak digital hasil survei itu masih mudah ditemukan, karena banyak dipublikasikan media arus utama.

Hasilnya jelas: di tengah lima rapor biru yang cukup melegakan, ada dua rapor merah yang menyalakan alarm keras bagi pemerintah Prabowo--Gibran. 

Ini contoh berita LSI Denny JA, tanggal 4 Juni 2025 yang dimuat harian Kompas. "Survei LSI Denny JA: Mayoritas Warga Merasa Sembako Makin Mahal pada Era Prabowo-Gibran" (1).

Lebih dari separuh rakyat Indonesia mengeluhkan sulitnya lapangan kerja dan merosotnya daya beli.

Dua titik keresahan itu---lapangan kerja dan daya beli---menjadi pemantik awal. Ia ibarat getaran kecil pada seismograf politik, tanda bahwa tanah sosial sedang rapuh, siap merekah kapan saja menjadi keretakan besar.

Ilmu pengetahuan sudah memberi tanda. Hasil survei opini publik dua bulan sebelumnya sudah memberi petunjuk.

-000-

Sidney Tarrow dalam magnum opus Power in Movement (1994; revisi 2011) menjelaskan bahwa aksi protes tidak lahir dari ruang hampa. Ia bukan ledakan acak, bukan sekadar amarah spontan.

Protes adalah akumulasi panjang: keresahan yang menumpuk, identitas kolektif yang tumbuh, dan celah politik yang membuka peluang. 

Tarrow menyebutnya opportunity structures. Orang rela turun ke jalan, meski risiko ditangkap dan dipukuli, karena mereka melihat secercah kemungkinan bahwa aksi mereka bisa berhasil.

Setiap bangsa, kata Tarrow, juga memiliki repertoar kolektif: cara khas untuk melawan. 

Di Yogyakarta, aksi diam sambil membawa lilin menjadi simbol. Di Jakarta, long march buruh menyesaki Thamrin. Di Makassar, massa kampus bergandengan dengan unsur masyarakat lain.

Kini, di era digital, repertoar itu makin berlapis: dari petisi daring, hashtag activism, hingga boikot konsumen. Dan seperti gelombang laut, protes juga bergerak dalam siklus: kebangkitan, puncak, lalu kemunduran.

-000-

Filosofi utama yang dapat kita renungkan dari semua ini adalah sederhana sekaligus tajam: ilmu pengetahuan adalah telinga yang lebih peka daripada teriakan massa.

Sejarah telah berulang kali mengingatkan kita: Revolusi Prancis yang dipicu krisis pangan, Reformasi 1998 yang meledak karena krisis moneter, hingga protes global hari ini. 

Selalu ada peringatan dini yang bisa terbaca. Tetapi itu sering diabaikan oleh mereka yang kurang peka, atau menyepelekan.

-000-

Survei opini publik kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan publik negara modern. 

Sejak dekade 1930-an di Amerika Serikat, lembaga seperti Gallup mulai memetakan opini warga dengan metode ilmiah. 

Dari sanalah pemerintah menyadari: legitimasi kebijakan tidak lagi hanya lahir dari elite, tetapi juga dari suara mayoritas yang terukur.

Survei memungkinkan negara membaca keresahan jauh sebelum ia meledak menjadi protes. Juga ia menakar dukungan sebelum kebijakan dijalankan, dan menilai efektivitas setelah kebijakan diterapkan.

Dalam era demokrasi massal, ketika warga makin kritis dan arus informasi makin cepat, survei berfungsi layaknya seismograf politik. Ia mendeteksi getaran sosial yang tak kasat mata.

Negara yang abai pada survei sama saja dengan negara yang menutup telinga pada rakyatnya. Dan sejarah membuktikan: mereka yang tak mendengar bisikan rakyat akhirnya dipaksa mendengar teriakannya.

Dalam studi public policy, ini sudah menjadi standar. Banyak negara modern merancang kebijakan publik, dengan mempertimbangkan hasil survei opini publik.

Pemerintahan itu juga melakukan evaluasi rutin untuk mengetahui bagaimana publik menilai keseluruhan kebijakannya, berbasis survei opini publik.

Bahkan ini sudah menjadi prasyarat demokrasi modern. Kolaborasi antara ilmuwan sosial, pemerintah, dan masyarakat sipil memungkinkan solusi kebijakan lebih responsif, berkelanjutan.

Pola ini lebih mampu mewujudkan perubahan nyata dengan minim risiko kegagalan.

Tapi di era yang kini arus informasi bergerak 24 jam sehari, perlu dikembangkan pula teknologi membaca opini publik yang lebih cepat.

Di tengah gelombang protes, inovasi kebijakan berbasis real-time data analytics dan kolaborasi tripartit (pemerintah-akademisi-masyarakat) menjadi kunci.

Misalnya, sistem early response yang mengintegrasikan survei harian, analisis media sosial, dan forum dialog terbuka dapat mengubah keluhan menjadi solusi sebelum membesar. 

Sebagaimana kata Amartya Sen: "Demokrasi adalah public reason-bukan sekadar kotak suara, tapi ruang mendengar."

-000-

Maka, ketika kerumunan memenuhi jalan Sudirman, Thamrin, hingga lorong-lorong kecil di Papua, kita sebenarnya sedang menyaksikan ramalan ilmu pengetahuan yang menjadi kenyataan. 

Survei sudah lebih dulu memotretnya, menyebut keresahan, memberi peringatan.

Namun, sebagaimana gempa yang diabaikan bunyi seismografnya, protes itu akhirnya meledak.

Sidney Tarrow pernah menulis: gerakan sosial adalah bagian dari denyut demokrasi. Ia bisa menjadi energi pembaruan, atau bara yang menghanguskan. 

Di tangan bijak, survei adalah cahaya kecil yang menuntun kita mencegah bara sebelum menjadi api.

Memang ada survei dari lembaga yang buruk, yang hasilnya juga jauh dari kenyataan. Tapi hadir pula lembaga yang kredibel.

Buruk dan baik terjadi pada semua profesi lain. Jejak langkah lembaga survei itu mudah dipetakan. Dengarkan saja lembaga survei domestik yang kredibel, yang jejaknya sudah panjang, yang bahkan mendapatkan penghargaan internasional.

Pelajaran sejati yang kini menggema adalah: sebaiknya pemerintah bersedia mendengar bisikan ilmu sebelum ia berubah menjadi teriakan massa?

Jika tidak, sejarah akan kembali mencatat: suara rakyat yang lembut, ketika diabaikan, selalu menemukan cara yang lebih keras.

"Sejarah selalu berpihak pada mereka yang mendengar bisikan rakyat sebelum berubah menjadi jeritan."***

Jakarta, 9 September 2025

-000-

Referensi

1. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Survei LSI Denny JA: Mayoritas Warga Merasa Sembako Makin Mahal pada Era Prabowo-Gibran", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2025/06/04/15242361/survei-lsi-denny-ja-mayoritas-warga-merasa-sembako-makin-mahal-pada-era. 

 2. Sidney Tarrow. Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics. Cambridge University Press, 1994; revisi 2011.

 3. George Gallup & Saul Rae. The Pulse of Democracy: The Public Opinion Poll and How It Works. Simon & Schuster, 1940.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA's World

https://www.facebook.com/share/p/177GTMusts/?mibextid=wwXIfr

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun