"Di kafe kok pesannya singkong rebus? Pesan yang enggak biasa gitu loh."
Pertanyaan yang terlontar begitu menu pesanan saya datang. Memang benar sih. Kalau makan di luar sebaiknya memilih menu yang jarang kita temui di rumah. Namun tidak demikian pendapat saya.Terkadang saya datang atau makan di sebuah kafe untuk mengenang masa lalu. Kan biasanya sebelum mendatangi kafe tersebut kita sudah cek nih menu yang ada di sana. Kalau ada yang unik dan menarik  barulah didatangi.
Jadi bukan sekadar datang, duduk, lalu makan dan selesai. Seperti menu singkong rebus dan secangkir kopi pahit yang saya pesan sewaktu berada di sebuah kafe. Jarang-jarang kan sebuah kafe menyediakan menu singkong rebus. Ada juga singkong goreng crispy atau singkong goreng keju.
Singkong rebus dan secangkir kopi pahit. Ini sangat menarik. Perpaduan tepat sebagai menu sarapan pagi para lelaki di desa sebelum berangkat ke sawah. Saya yang kalau liburan sekolah kerap mengunjungi kerabat di desa, pernah merasakan vibes tersebut.
Duduk di teras. Disuguhi secangkir kopi dan singkong rebus dengan  pemandangan sawah nan hijau royo-royo di depan rumah, menjadi rutinitas pagi saya selama di desa. Kebetulan sawah milik pakde saya berada tepat di depan rumah. Hanya dibatasi oleh jalan setapak.
"Ikut turun ke sawah yuk, Neng? " Ajak sepupu saya yang usianya sepantaran.
"Enggak ah, takut ada lintah, " Sahut saya.
Memang benar saya takut. Dulu pernah soalnya waktu awal-awal liburan di desa. Belum pernah turun ke sawah jadinya penasaran. Ikut turun dong melihat langsung cara menanam padi. Eh, begitu naik ke darat ada lintah yang menempel di betis saya. Sejak itu tidak mau turun ke sawah lagi.
Saya lebih memilih duduk manis di teras sambil melihat mereka dari kejauhan. Paling setelah bude selesai masak, saya ikut mengantar makanan ke sawah. Sebagai anak kota pemandangan seperti itu sangat menarik. Liburan yang paling saya nantikan ya berkunjung ke sana.
Setelah lulus sekolah dan sibuk dengan segala kegiatan, liburan ke desa sudah tidak bisa rutin dilakukan. Terkadang 2 -3 tahun baru bisa berkunjung lagi. Dan perubahan yang saya dapati di sana membuat suasana liburan terasa berbeda.
Sawah yang terhampar luas di depan rumah pakde sudah berubah menjadi rumah dan pertokoan. Sepupu-sepupu yang biasa menyambut saya sudah merantau ke mana-mana. Rumah yang dulunya ramai, asri dan menyenangkan berubah menjadi sunyi.
Hanya ada suara batuk pakde dan bude yang kian ringkih dan menua.
"Semenjak sawah dijual, pakde jadi sakit-sakitan, Nduk. Kurang gerak dan tidak pernah jalan-jalan pagi lagi, " Ujar pakde sambil menatap jalanan dengan tatapan sedih.
"Kenapa dijual pakde? Kan sayang. "
"Yah, namanya anak banyak. Ada yang butuh uang dan sebagainya. Daripada berhutang jadi jual saja yang ada. Sawah itulah harta pakde. "
Saya menarik napas menahan perasaan. Tidak mampu berkata-kata. Roh petani ada di sawah. Maka ketika si sawah menghilang. Seolah ada yang hilang. Separuh jiwa pakde sebagai seorang petani telah lepas. Beliau hanya bisa pasrah menjalani hidup sambil menunggu panggilan sang ilahi.
Di sebuah kafe ditemani secangkir kopi dan singkong rebus, saya mengenang semua itu sebagai bagian dari perjalanan hidup yang patut dijadikan pelajaran. (Denik)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI