Sawah yang terhampar luas di depan rumah pakde sudah berubah menjadi rumah dan pertokoan. Sepupu-sepupu yang biasa menyambut saya sudah merantau ke mana-mana. Rumah yang dulunya ramai, asri dan menyenangkan berubah menjadi sunyi.
Hanya ada suara batuk pakde dan bude yang kian ringkih dan menua.
"Semenjak sawah dijual, pakde jadi sakit-sakitan, Nduk. Kurang gerak dan tidak pernah jalan-jalan pagi lagi, " Ujar pakde sambil menatap jalanan dengan tatapan sedih.
"Kenapa dijual pakde? Kan sayang. "
"Yah, namanya anak banyak. Ada yang butuh uang dan sebagainya. Daripada berhutang jadi jual saja yang ada. Sawah itulah harta pakde. "
Saya menarik napas menahan perasaan. Tidak mampu berkata-kata. Roh petani ada di sawah. Maka ketika si sawah menghilang. Seolah ada yang hilang. Separuh jiwa pakde sebagai seorang petani telah lepas. Beliau hanya bisa pasrah menjalani hidup sambil menunggu panggilan sang ilahi.
Di sebuah kafe ditemani secangkir kopi dan singkong rebus, saya mengenang semua itu sebagai bagian dari perjalanan hidup yang patut dijadikan pelajaran. (Denik)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI