"Ayah dan Ibu Galih itu ingin supaya Galih baik-baik saja. Mereka sayang Galih," ucap Bi Endah.
"Mereka tidak sayang, Bi," kata Galih sambil menarik selimut menyembunyikan kesedihannya.
Hari demi hari sudah berlalu, namun ucapan Ibu Yuniar tidak dilaksanakan. Galih menanti guru mengaji ke rumah, namun sudah beberapa hari tidak muncul juga. Ketika Galih bertanya kepada ibunya, jawaban yang didapat adalah "Besok, ya."
Setiap sore Galih hanya memandang jendela, berharap tawanya akan menemani tawa teman-temannya yang melewati depan rumahnya. Terkadang Galih melambaikan tangan kepada teman-temannya, dan teman-temannya pun selalu setia mengajaknya.
"Bi, besok, Galih ke sekolah ditunggu di depan kelas ya. Bibi tidak perlu pulang dulu, agar Galih kalau mau apa-apa langsung bilang," pesan Bu Yuniar.
Anak usia tujuh tahun dan sudah masuk sekolah dasar diposisikan seperti anak usia dini. Hal ini yang membuat Galih merasa malu diperlakukan seperti itu. Bi Endah hanya bisa melaksanakan perintah Ibu Yuniar dan Ayah Bekti saja.
"Bu, apakah guru mengajinya sudahy dapat?"
"Nanti Ibu cari lagi ya, Nak," ucap Ibu Yuniar sambil tergesa-gesa pergi berangkat ke kantor.
"Ayah, apakah akan pulang terlambat lagi?" tanya Galih kepada ayahnya.
"Oh ya Galih, Ayah akan keluar kota untuk beberapa hari," uacah Ayah.
Mendung mengayomi hati Galih yang tertutup asa untuk bisa bermain dan mengaji bersama teman-temannya. Sementara ia hanya di kamar dengan Bi Endah, mengotak-atik laptop atapun game yang ada di komputer. Tanpa putus asa, Galih meminta Bi Endah untuk mengajarkan mengaji. Bahkan sekali-kali, Galih belajar sendiri dari Youtube yang ia putar. Galih, sosok anak pewaris tunggal dari sebuah perusahaan. Komunikasi yang terhambat karena tidak pernah ada orang yang bisa diajak bicara, hanya Bi Endah. Ayah Bekti dan Ibu Yuniar memberikan segalanya untuk Galih, namun tidak dengan kedamaian hati dan waktu luangnya.