Akhirnya aku menunggu Zaky yang memiliki nama panjang Muhammad Zaky Davalasyah. Dia adalah salah satu teman baikku. Anak dari pengusaha juga tetapi keluarganya bisa mengatur kehidupan dengan baik. Berbanding terbalik dengan keluargaku. Sambil duduk di teras depan, aku memperhatikan semua halaman rumahku. Aku mengenang masa kecilku yang sering main di pekarangan rumah bersama kakakku, Arya Pratama. Nanti saja aku ceritakan yang detailnya mengenai kakakku. Sekarang aku hanya bisa memperkenalkan namanya saja.
Suara klakson berdengung dari depan pagar rumahku. Klakson dari mobil starlet milik Zaky yang berwarna biru dengan nomor kendaraan B 24 KY. Aku pun berlari.
"Ya, tunggu sebentar, bawel."
"Kenapa tidak bawa mobil kamu? Aku sudah seperti sopir kamu saja. Aku pacar kamu juga bukan."
"Kalaupun aku homo, aku bisa memilih laki-laki tidak seperti muka kamu, amit-amit deh."
"Sialan!! Ayo buruan!!"
Dan melejitlah mobil starlet yang aku tumpangi. Keluar dari kompleks perumahan di mana rumahku berlokasi, sekarang mobil itu gila-gilaan meluncur di jalan raya. Zaky memang rada gila, berlagak seperti pembalap profesional.
"Awas!!!" Seruku.
"Tenang saja bos."
Hampir saja kami menabrak pengendara motor yang tepat berada di depan mobil yang aku tumpangi. Untung saja Zaky mengeremnya dengan cepat. Tetapi korbannya jantungku yang mau lepas dari porosnya. Sekitar dua kilometer lagi kami akan tiba di sekolah. Sekolah dengan papan nama SMA BAKTI INTERNASIONAL, sebuah sekolah di daerah elit tepatnya di Jakarta Selatan. Sekolah yang menjulang tinggi dengan enam lantai dan halaman yang luas dengan beberapa lapangan (lapangan basket, lapangan tenis, dan lapangan olahraga lainnya, serta sebuah lapangan tempat upacara bendera tepatnya di depan bangunan sekolah).
Akhirnya aku sampai juga di sekolah dan akhirnya pula aku menyelesaikan tugas mengamankan diri dari penyakit jantung gara-gara Zaky yang mengendarai mobilnya dengan kencang. Setelah Zaky memarkir mobilnya, kami tidak langsung ke kelas, melainkan ke kantin untuk sarapan. Kalian pasti tahu, kalau sarapan di rumah tidak akan seni'mat sarapan di kantin sekolah. Kalau di rumah hanya makan sendiri sedangkan di sini banyak orang, sambil bercanda tanpa teriming-imingi pikiran yang kemana-mana hingga terlepas dari semua itu.