Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku Bukan Anak Emak Lagi

10 Oktober 2021   10:25 Diperbarui: 10 Oktober 2021   10:28 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lalu kamu akan kembali ke kampungmu, bahkan emakmu tak akan menerimamu setelah kamu ceritakan semuanya" hasutan yang berdalih agar aku tetap bekerja sebagai wanita malam di kafe miliknya.

"Sekarang kamu istirahat saja" lekasnya.

O, Jakarta jangan rampas emakku yang menjadi pengayom hidupku. Aku tak akan pernah membuat emak mengatakan aku bukan anaknya lagi. Setiap waktu kata-kata emak menjadi penghalang dari gerakku. Kerap ku melupakannya dengan bersenang-senang bersama Olih dan laki-laki lain yang tetap menghiburku dengan kecaman bahwa mereka menjadi bagian dari hidupku. Sekian lama aku mengalami kepulihan kembali melakukan pekerjaan seperti biasanya, mengisi hari-hariku dibarengi menumbuk pikranku tentang emak. Tating adalah perempuan desa yang naik martabatnya, itu dalam pikirku.

***

"Emak, teh Tating cantik pisan"

"Makanya, kamu harus bisa mawas diri sebagai gadis desa yang cantik luar dalam, biar seperti teh Tating "

Dalam cuaca yang ngecrek hujan, adikku membicarakanku dan menanyakan tentang aku kepada emak. Emak sangat jeli menceritakannya. Memang ritual di kampungku atau lebih tepatnya di rumahku adalah ngerumpi dan saling bercerita dengan keluarga, bahkan selalu mengulang cerita masa lalu.

Lemak di pinggir jalan yang becek. Mengecuprak anak-anak kecil bermain hujan-hujanan. Bersemburan air, dengan baju yang lusuh ditambah lusuh lagi. Ibu mereka mendiamkan kelakuannya. Hal yang lumrah, yang tak akan mnenyerang tubuh mereka dengan sakit gara-gara hujan. Tak seperti anak-anak kota yang manja, hanya karena kepala ketiban air hujan lima rintikan langsung jatuh sakit demam tinggi atau langsung influenza.  Adikku bagian dari mereka. Seorang anak kecil laki-laki yang masih hangat-hangatnya masa bermain. Karena kenakalannya aku pernah membuatnya menangis, tapi aku juga menyesalinya, tak kuat airmata mengucur dari keluguannya.

Bunyi katak yang menggemparkan malam dalam kesunyian. Atau jangkrik-jangkrik yang berdenyit mencari sosok malam yang tak kunjung rembulan datang. Hanya cahaya kunang-kunang yang menjadi hiasan dinding langit yang gelap. Di kelelapan tidur orang-orang kampung tanpa ada kericuhan orang-orang yang gempar mencari udara malam.

***

Aku sangat jauh menyongsong jalan yang tak berarah. Aku seperti tersambar petir yang datang dari   kawalat akan do'a emak ketika aku mengetahui bahwa aku sudah positif hamil. Langit terguncang, ingin kiamat itu terjadi sekarang juga walaupun dosa-dosaku belum aku taubatkan.  Aku mengadu pada dunia yang bernyawa yang memiliki cipta yang hadir untuk menggoreskan jalan hidupku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun